KASIH MELEBIHI SEGALANYA
KASIH MELEBIHI SEGALANYA
Quote
1 = “Kita seharusnya
mengajarkan hukum tapi mempraktekkan kasih BUKAN mengajarkan kasih tapi
mempraktekkan hukum”
Quote 2 = “Ketaatan yang disertai dengan belas
kasihan adalah hal yang paling utama bagi Allah, tetapi ketaatan yang tidak
disertai dengan belas kasihan adalah kekejian bagi Allah”
“tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. Pagi-pagi
benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia
duduk dan mengajar mereka. Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi
membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka
menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus:
"Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat
zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari
perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal
itu?" Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka
memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis
dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya
kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa
di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada
perempuan itu." Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di
tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka
seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang
diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit
berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak
adakah seorang yang menghukum engkau?" Jawabnya: "Tidak ada,
Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah,
dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."”
(Yohanes
8:1-11)
Pengajaran atau
artikel kali ini isinya bukan teologi atau doktrin pengajaran tertentu,
melainkan sebuah penyingkapan kebenaran Alkitab yang saya yakini akan
mengungkapkan siapa diri kita di hadapan Tuhan: Apakah kita orang yang berkenan
di mata-Nya, atau sebaliknya orang yang dibenci oleh-Nya.
Seperti layaknya
orang Israel pada umumnya, setahun tiga kali Yesus pasti datang ke Yerusalem untuk
merayakan hari raya dan Yesus tidak pernah melewatkan kesempatan itu untuk
mengajar di Bait Allah. Pada saat Yesus sedang mengajar banyak orang yang datang kepada-Nya – yang
kemungkinan besar menghasilkan kecemburuan – maka datanglah ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi yang berniat untuk mencobai Dia. Mereka menempatkan
seorang perempuan yang kedapatan sedang berbuat zinah. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi bukan orang
bodoh, tentu saja mereka membawa minimal dua orang saksi – sebagaimana yang
tertulis di dalam Taurat – yang akan memberikan pernyataan bahwa mereka melihat
dengan mata kepala mereka sendiri.
Faktanya, pencobaan
ini bukanlah pencobaan biasa. Yesus sedang diperhadapkan dengan dua kemungkinan
yang keduanya akan membawa Yesus kepada masalah. Pertama, apabila Yesus setuju
untuk merajam perempuan yang kedapatan berzinah itu, maka Yesus akan
diperhadapkan dengan peradilan Romawi yang pada saat itu melarang orang main
hakim sendiri tanpa melalui proses pengadilan. Namun di sisi yang lain, apabila
Yesus tidak setuju (atau melarang) hukum rajam dilaksanakan, maka Yesus akan
dituduh telah melanggar hukum Taurat yang jelas-jelas memerintahkan untuk
melempari perempuan-perempuan yang demikian.
Kita semua semua
tahu apa yang terjadi kemudian. Yesus tidak mengiyakan atau menolak pilihan hukum rajam
yang diperhadapkan kepada-Nya, melainkan dengan karunia hikmat yang
dimiliki-Nya Ia menjawab: “Barangsiapa
diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada
perempuan itu”, sehingga pada akhirnya tidak ada seorangpun yang menghukum
perempuan tersebut.
Apabila ditinjau
dari sudut pandang praktis, yaitu bagaimana Yesus mampu melepaskan diri dari
pencobaan yang datang kepada-Nya, kita akan merasa kagum dengan hikmat Allah
yang bekerja di dalam diri-Nya. Namun apabila ditinjau dari sudut pandang
teologis, ada sebuah persoalan yang SANGAT SERIUS terjadi di sini, dimana
artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana kita
dapat meneladani perbuatan Tuhan Yesus terhadap mereka yang jatuh ke dalam
dosa. Sekali lagi saya tegaskan bahwa artikel ini akan mengungkapkan siapa diri kita
di mata Tuhan, apakah kita mirip dengan Tuhan Yesus atau mirip dengan ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi?
APAKAH
YESUS TAAT KEPADA HUKUM TAURAT?
Jawabannya: TIDAK! Jelas bahwa Yesus tidak mentaati hukum rajam yang tertulis di dalam kitab Taurat. Mungkin
harus saya sampaikan di awal bahwa sebetulnya Tuhan Yesus taat kepada hukum Taurat
namun dalam pengertian yang berbeda (yang akan saya jelaskan di dalam artikel ini,
sebab siapa tahu ada diantara saudara yang terhenyak dengan jawaban di atas). Kenyataannya,
kitab Imamat 20:10 dan Ulangan 22:22-24 sama sekali TIDAK memberikan
persyaratan bagi para pelaku hukum rajam. Tidak pernah disebutkan pada kedua ayat
tersebut bahwa para pelempar batu haruslah orang-orang yang tidak berdosa. Di
sisi lain, kalaupun persyaratan itu memang ada, maka Yesus sendiri adalah
manusia yang wajib melakukannya sebab Dia manusia yang tidak berdosa.
Jadi hal inilah
yang saya katakan di awal bahwa secara teologis ada masalah yang sangat serius
terjadi di sini. Seandainya Yesus tidak taat kepada hukum Taurat, maka Yesus
dapat dikatakan sebagai manusia berdosa. Dan kalau Yesus berdosa, maka Ia tidak
layak menjadi Juruselamat, dan konsekuensi logisnya adalah saudara dan saya
masih hidup di dalam dosa. Jadi, mari kita renungkan kejadian ini secara mendalam melalui kacamata kebenaran yang tertinggi.
Maksudnya, pikirkan pertanyaan ini dengan seksama: Mengapa Tuhan Yesus yang secara jelas-nyata tidak
mentaati apa yang tertulis di dalam hukum Taurat (hukum rajam), namun dianggap tidak berdosa oleh Allah?
Mungkin yang menjadi
pertanyaan bagi kita adalah apakah Yesus takut dihukum? Saya kira TIDAK, sebab
nyatanya Ia mati di atas kayu salib melalui peradilan romawi dimana kita semua tahu
bahwa Ia memiliki kesempatan untuk melarikan diri di taman Getsemani ketika para prajurit yang hendak menangkap-Nya terjatuh ke tanah (Yoh 18:6).
Pertanyaan lainnya adalah apakah Yesus kompromi dengan dosa? Saya kira
jawabannya juga TIDAK, sebab perkataan terakhir Tuhan Yesus kepada perempuan
berdosa itu adalah “jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”. Jadi apa
yang sebenarnya terjadi? Saya kira pilihan jawabannya cuma ada dua:
- Yesus berdosa
karena melanggar hukum Taurat, atau
- Ada hukum lain yang
lebih tinggi daripada hukum ketaatan.
HUKUM
KASIH LEBIH TINGGI DARIPADA HUKUM KETAATAN
Satu-satunya alasan
yang dapat menjawab pertanyaan kenapa Tuhan Yesus dianggap tidak berdosa
manakala Ia tidak mentaati hukum rajam adalah karena Yesus taat kepada perintah
yang terutama di dalam hukum Taurat yaitu KASIH. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan
kepada murid-murid-Nya: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang
perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum
Taurat dan kitab para nabi.” (Mat 7:12). Sementara di tempat lain rasul Paulus
menegaskan tentang hal ini: “Seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman
ini, yaitu: “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Gal 5:14).
Tolong jangan salah dimengerti! Ketaatan adalah penting, namun ketika ketaatan dibandingkan atau
diperhadapkan dengan kasih, pastikan bahwa pilihan kita adalah kasih.
Sebelum menjawab pertanyaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, Yesus terlebih dahulu menulis di tanah dan setelah itu Ia menulis satu kali lagi. Apa maksudnya? Tentu saja jawabannya adalah tafsiran sebab tidak ada seorangpun yang tahu apa yang Tuhan Yesus tulis di tanah. Namun, apabila kita berusaha memahaminya sesuai dengan konteksnya bahwa Yesus sedang diperhadapkan dengan kebenaran hukum Musa/Taurat, maka tidak terlalu salah apabila saya menafsirkan bahwa tulisan pertama adalah perlambang dari hukum Taurat sedangkan tulisan kedua adalah perlambang dari Injil. Pertama-tama Allah memberikan hukum Taurat kepada umat Tuhan, maksudnya supaya manusia mengerti bagaimana mereka harus hidup di muka bumi, tetapi karena mereka salah di dalam menafsirkan dan mempraktekkannya, maka Yesus “harus” menambahkan prasyarat “siapa yang tidak berdosa…” terhadap perintah hukum Taurat dimana tujuannya supaya manusia jangan saling menghakimi. Hukum Taurat ditambah dengan prasyarat yang Yesus berikan adalah tulisan kedua yang Yesus tulis di tanah.
Sebelum menjawab pertanyaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, Yesus terlebih dahulu menulis di tanah dan setelah itu Ia menulis satu kali lagi. Apa maksudnya? Tentu saja jawabannya adalah tafsiran sebab tidak ada seorangpun yang tahu apa yang Tuhan Yesus tulis di tanah. Namun, apabila kita berusaha memahaminya sesuai dengan konteksnya bahwa Yesus sedang diperhadapkan dengan kebenaran hukum Musa/Taurat, maka tidak terlalu salah apabila saya menafsirkan bahwa tulisan pertama adalah perlambang dari hukum Taurat sedangkan tulisan kedua adalah perlambang dari Injil. Pertama-tama Allah memberikan hukum Taurat kepada umat Tuhan, maksudnya supaya manusia mengerti bagaimana mereka harus hidup di muka bumi, tetapi karena mereka salah di dalam menafsirkan dan mempraktekkannya, maka Yesus “harus” menambahkan prasyarat “siapa yang tidak berdosa…” terhadap perintah hukum Taurat dimana tujuannya supaya manusia jangan saling menghakimi. Hukum Taurat ditambah dengan prasyarat yang Yesus berikan adalah tulisan kedua yang Yesus tulis di tanah.
Sesungguhnya hukum
Taurat TIDAK PERNAH bertentangan dengan Injil. Inti dari keduanya adalah sama
yaitu KASIH. Namun sayang banyak umat Tuhan (termasuk orang Kristen) yang salah
mengerti tentang hukum Taurat dimana tanpa sadar mereka menganggap bahwa inti
dari hukum Taurat adalah ketaatan. Yesus sendiri menegaskan bahwa hukum yang
terutama di dalam Taurat adalah kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama (Mrk 12:29-31).
Catat hal ini
baik-baik di dalam hati saudara! Kita
seharusnya mengajarkan hukum tapi mempraktekkan kasih BUKAN mengajarkan kasih
tapi mempraktekkan hukum. Secara teori, kita seharusnya mengajarkan hukum,
yaitu memberitahukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa
yang harus dan apa yang dilarang untuk dilakukan, namun apabila ada diantara
sesama kita yang jatuh ke dalam dosa, maka tugas kita adalah mengasihi mereka bukan
menghakimi mereka. Tetapi pada prakteknya, kita seringkali mengajarkan tentang
kasih (dari atas mimbar), namun apabila ada diantara sesama kita yang jatuh ke dalam dosa, kitalah
manusia yang paling pertama menghakimi mereka. Bukankah kita lebih mirip orang
Farisi ketimbang Tuhan Yesus?
BUKTI
KITA LEBIH MIRIP ORANG FARISI KETIMBANG TUHAN YESUS
Sebelum saya
menguraikan bagian ini secara panjang lebar, terlebih dahulu ijinkan saya untuk
menyampaikan permohonan maaf apabila ada diantara saudara yang tersinggung
ketika membacanya. Saya sama sekali tidak berniat untuk menjelek-jelekan gereja
tertentu, apalagi sampai menghakimi mereka. Tujuan saya melalui apa yang akan saya
sampaikan berikut ini murni merupakan seruan PERENUNGAN & PERTOBATAN atas
apa yang sudah kita lakukan selama ini.
Salah satu bukti
paling nyata yang dapat saya sampaikan adalah soal pernikahan. Sudah
bukan rahasia lagi bahwa beberapa gereja memberlakukan perbedaan antara PEMBERKATAN –
PENEGUHAN – MENDOAKAN. Pasangan yang masih kudus (baca: belum melakukan
hubungan seks) boleh menikah di gedung gereja dengan upacara pemberkatan nikah secara lengkap,
sedangkan bagi pasangan yang tidak kudus, mereka harus menikah di luar gedung
gereja dan hanya menerima peneguhan pernikahan yang ditandai dengan cadar/slayer
yang sudah terbuka. Terakhir, yang paling parah, yaitu pasangan yang sudah
hamil duluan. Mereka cuma "sekedar" didoakan saja, padahal kalau mau dipikirkan secara nalar logis, apa
bedanya pasangan yang terakhir ini dengan pasangan yang kedua? Mungkin pertanyaan kritis (yang bersifat krusial) yang harus diajukan adalah apakah manusia
yang menentukan kehamilan seseorang? Jadi secara tidak sadar, kita sedang
menghakimi Allah, yaitu menghakimi seorang wanita yang hamil berdasarkan kedaulatan Allah dengan cara: "cukup didoakan saja pernikahannya".
Mungkin ada
diantara saudara yang langsung membela diri dengan berkata: “Tetapi itu kan peraturan
gereja”. Justru hal itu yang sedang saya bahas di sini. Apakah kita mau
menggenapi perkataan Tuhan Yesus kepada orang-orang Farisi: “Percuma mereka beribadah
kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah
manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat
manusia“
(Mrk 7:7-8). Pada dasarnya kita sedang bersembunyi di balik peraturan gereja
(baca: perintah manusia) tanpa mempedulikan kebenaran Firman Allah yang berkata
jangan menghakimi. Ketika kita membeda-bedakan jenis pernikahan, kita berasumsi
bahwa kita sedang mengajar jemaat supaya mereka takut melakukan dosa, tetapi
coba tanyakan kepada pasangan yang cuma menerima peneguhan atau hanya didoakan saja pernikahannya. Yang mereka rasakan adalah PENGHAKIMAN. Walaupun
sebagian dari antara mereka menerimanya dengan ikhlas (karena penundukan diri dan pemahaman Alkitab yang
salah), namun sebagian lagi menyimpan amarah di dalam hati mereka. Tentu saja alasannya karena aib mereka dibukakan secara tidak langsung kepada publik.
Apakah kita sadar
bahwa perbuatan kita jauh lebih buruk daripada mereka yang sudah jatuh ke dalam
dosa perzinahan? Setidak-tidaknya mereka sadar bahwa mereka adalah orang-orang berdosa, tetapi kita merasa sebagai orang benar yang sedang mentaati Firman Allah. Sama persis seperti orang Farisi yang seandainya tidak takut kepada pengadilan Romawi mereka pasti sudah melempari perempuan yang kedapatan berzinah itu dengan batu. Ironisnya, dasar dari tindakan mereka (melempari batu) adalah
KETAATAN terhadap Taurat Musa yang tidak lain adalah Firman Allah.
JULUKAN
YESUS ADALAH SAHABAT PEMUNGUT CUKAI DAN ORANG BERDOSA
Apakah kita lupa,
atau pura-pura lupa, atau sama sekali tidak pernah memikirkannya, bahwa julukan
yang dialamatkan kepada Tuhan Yesus adalah sahabat pemungut cukai dan orang
berdosa? Tentu saja julukan ini tidak muncul begitu saja. Pasti ada alasan
kenapa orang Israel menjuluki Yesus seperti itu. Pada kenyataannya, sebagaimana
yang tertulis di dalam empat kitab Injil, Yesus lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk bergaul dengan orang berdosa ketimbang dengan imam-imam
(pendeta), ahli-ahli Taurat (teolog) dan orang-orang Farisi (aktifis).
Pertanyaan yang
seharusnya muncul dari julukan tersebut adalah kenapa Tuhan Yesus bisa diterima
di kalangan orang berdosa? Jawabannya sederhana yaitu karena Yesus “TIDAK
MENGHAKIMI”. Prinsip Yesus di dalam menjalani kehidupan dan pelayanan-Nya
adalah kasih terhadap orang berdosa sebagaimana yang diajarkan kepada
murid-murid-Nya: “Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada
murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut
cukai dan orang berdosa?" Yesus mendengarnya dan berkata: "Bukan
orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan PELAJARILAH arti firman ini: Yang
Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang
bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa" (Mat 9:11-13). Pada hari ini juga Roh Kudus sedang berkata
kepada saudara “Pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas
kasihan…”
Saya sendiri
mengalami suatu perubahan yang radikal di dalam kehidupan dan pelayanan saya
setelah saya memahami kebenaran Firman ini. Saya masih ingat ketika saya baru
bertobat dan percaya kepada Yesus, saya mendengar berita tentang kejatuhan seorang hamba
Tuhan besar di Indonesia. Saya masih ingat reaksi saya kira-kira seperti ini: “Masa seorang hamba Tuhan
melakukan hal seperti itu, malu-maluin aja”, tetapi sekarang kalau saya
mendengar berita seperti itu lagi, reaksi dalam hati saya kira-kira seperti ini: “Saya berdoa bagi dia, sebab dihadapan Tuhan
saya tidak lebih baik daripada dia, kejatuhan dia adalah kejatuhan saya juga, sebab
dia dan saya adalah satu.”
TIDAK
ADA SEORANGPUN YANG BAIK
Alkitab menyatakan
bahwa kita tidak lebih baik daripada orang lain, walaupun kita tidak melakukan
dosa sebagaimana yang mereka perbuat. Yesaya 64:6 berkata: “Demikianlah kami sekalian
seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami
sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti
daun dilenyapkan oleh angin”
Lebih jelas dan lebih spesifik lagi, Roma 3:9-11 berkata: “Jadi bagaimana? Adakah kita mempunyai
kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab di atas telah kita
tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah
kuasa dosa, seperti ada tertulis: "Tidak
ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal
budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng,
mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun
tidak.”
Mungkin ada diantara saudara yang berpikir: “Masih ada orang baik kok,
buktinya masih ada orang yang mau menolong sesamanya”, tetapi ijinkan saya
menunjukkan kepada saudara bahwa kebaikan-kebaikan seperti itu hanyalah
kebaikan-kebaikan menurut STANDAR MANUSIA, bukan menurut Allah. Standar
kebaikan Allah adalah: “Kasihilah
musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi
orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Barangsiapa
menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan
barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.” (Luk 6:27-29).
Apa yang tertulis di atas belum seberapa dibandingkan dengan standar yang satu
ini: ”Kasihilah sesamamu manusia SEPERTI
dirimu sendiri”. Adakah diantara kita yang sanggup mengasihi orang lain
seperti kita mengasihi diri kita sendiri? Mungkin satu-satunya manusia yang sanggup melakukannya adalah Adam & Hawa (selain Yesus tentunya) sebelum mereka jatuh ke dalam dosa. Permasalahannya adalah apakah kita sadar bahwa perintah ini adalah
perintah yang terutama selain perintah mengasihi Allah? Melanggar
perintah yang terutama berarti menghasilkan dosa yang terutama pula! Setujukah saudara dengan statement yang sederhana tetapi menusuk hati ini? Artinya,
setiap hari kita melakukan dosa yang besar (terutama) di hadapan Allah karena setiap hari kita melanggar perintah yang terutama. Oleh sebab itu,
masihkan kita mau berkata bahwa kita lebih baik daripada orang lain (walaupun
kita tidak melakukan perbuatan dosa seperti yang mereka lakukan)?
MENGAPA
KITA SALING MENGHAKIMI?
Jawabannya jelas
karena kita merasa lebih baik daripada orang lain. Di atas sudah dijelaskan
bahwa kita tidak lebih baik daripada siapapun sebab ternyata standar kebaikan
kita berbeda dengan Tuhan. Namun pengertian seperti ini mungkin baru bagi
beberapa orang diantara saudara. Pengertian yang lebih populer dan mudah dicerna adalah karena kita membeda-bedakan antara dosa heboh dengan dosa
senyap. Dosa-dosa heboh adalah pembunuhan, pencurian, kemabukan, perjudian,
penyembahan berhala, percabulan, perzinahan, perselingkuhan, dsb. Sedangkan
dosa-dosa senyap adalah iri hati, amarah, kedengkian, perpecahan, gosip,
kebohongan, ketamakan, dsb. Dosa-dosa heboh seringkali menghasilkan perbicangan yang hangat (gosip) atau cibiran orang banyak karena dosa-dosa tersebut sangat nyata di hadapan manusia, sementara dosa-dosa senyap tersembunyi jauh di dalam hati manusia sehingga kita hanya dapat menebak-nebak saja apa yang sebenarnya terjadi. Namun yang seharusnya menjadi perenungan bagi kita sebagai orang Kristen adalah apakah dosa-dosa
senyap tidak bernilai maut? Apakah dosa-dosa senyap tidak memerlukan penebusan Kristus? Jadi orang-orang Kristen yang suka/sering menghakimi orang berdosa adalah orang-orang yang tidak sadar bahwa mereka sama-sama tidak layak untuk masuk
sorga. Kasih karunia Tuhan berlaku bukan hanya untuk dosa-dosa senyap, tetapi
berlaku pula untuk dosa-dosa heboh.
Ijinkan saya memberikan sebuah ilustrasi untuk menjelaskan kasus di atas. Seorang anak SD yang mendapat nilai 3 sedang mengolok-olok temannya yang mendapat nilai 1. Sang anak berkata dengan bangganya: “kamu goblok, masa cuma dapat nilai 1, nih aku dapat nilai 3”. Mungkin kita bisa tersenyum simpul (sambil menggeleng-gelengkan kepala) saat mendengar kebodohan ini, tetapi sadarkah kita bahwa seperti itulah kita dihadapan Tuhan saat kita menghakimi saudara kita yang jatuh ke dalam dosa. Kita sedang mengolok-olok dosa mereka, tetapi pada saat yang sama kita tidak sadar bahwa kita juga sama-sama tidak naik kelas. Upah dosa adalah maut, tidak peduli jenis dosanya seperti apa. Bagi manusia nilai 3 (hanya melakukan dosa-dosa senyap) itu sangat penting ketimbang nilai 1 (melakukan dosa-dosa heboh), tetapi bagi Tuhan keduanya sama-sama tidak layak untuk masuk sorga. Renungkan….!!!!!!!!
Ijinkan saya memberikan sebuah ilustrasi untuk menjelaskan kasus di atas. Seorang anak SD yang mendapat nilai 3 sedang mengolok-olok temannya yang mendapat nilai 1. Sang anak berkata dengan bangganya: “kamu goblok, masa cuma dapat nilai 1, nih aku dapat nilai 3”. Mungkin kita bisa tersenyum simpul (sambil menggeleng-gelengkan kepala) saat mendengar kebodohan ini, tetapi sadarkah kita bahwa seperti itulah kita dihadapan Tuhan saat kita menghakimi saudara kita yang jatuh ke dalam dosa. Kita sedang mengolok-olok dosa mereka, tetapi pada saat yang sama kita tidak sadar bahwa kita juga sama-sama tidak naik kelas. Upah dosa adalah maut, tidak peduli jenis dosanya seperti apa. Bagi manusia nilai 3 (hanya melakukan dosa-dosa senyap) itu sangat penting ketimbang nilai 1 (melakukan dosa-dosa heboh), tetapi bagi Tuhan keduanya sama-sama tidak layak untuk masuk sorga. Renungkan….!!!!!!!!
POLA
KEKRISTENAN YANG SALAH
Di atas sudah
disebutkan bahwa julukan Yesus Kristus adalah sahabat pemungut cukai dan orang
berdosa. Maka kita sebagai orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Kristus
(Christianos artinya pengikut Kristus) seharusnya memiliki julukan atau gaya
hidup yang sama dengan Kristus, yaitu DITERIMA di kalangan orang berdosa. Kalau sampai orang
berdosa merasa tidak nyaman berhubungan atau bergaul dengan kita, maka dua hal
inilah yang sesungguhnya telah terjadi:
Pertama, ada yang
salah dengan pola kekristenan kita. Tanpa sadar kita telah menjadikan Injil
sebagai hukum Taurat yang kedua, dimana penekanannya terletak dalam hal
ketaatan bukan belas kasihan (terhadap orang berdosa).
Kedua, kita lebih
mirip dengan orang Farisi ketimbang Tuhan Yesus yang dengan alasan ketaatan
kepada Firman telah mengabaikan perintah yang terutama. Faktanya orang Farisi
masih lebih baik daripada kita (dalam kasus perempuan yang berzinah), sebab
biar bagaimanapun juga mereka punya Firman yang tertulis tentang hukum rajam,
sedangkan orang Kristen tidak memiliki dasar tertulis untuk membedakan antara
pemberkatan, peneguhan dan didoakan saja dalam hal pernikahan.
Oleh sebab itu,
dengarkanlah suara kebenaran berikut ini: Ketaatan yang disertai dengan belas
kasihan adalah hal yang paling utama bagi Allah (dan Yesus), tetapi sebaliknya
ketaatan yang tidak disertai dengan belas kasihan adalah kekejian bagi Allah.
Terapkan ketaatan untuk diri sendiri dan belas kasihan untuk orang lain, bukan menerapkan ketaatan untuk orang lain dan belas kasihan untuk diri sendiri.
Yak 2:13 berkata: “Sebab penghakiman yang tak
berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi
belas kasihan akan menang atas penghakiman.”
Ayat ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi semua orang Kristen,
sebab ayat ini berbicara tentang apa yang akan teriadi pada hari penghakiman. Apa
maksudnya belas kasihan akan menang atas penghakiman? Perkataan Tuhan Yesus
yang tertulis di dalam Matius 7:1-2 adalah jawabannya: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan
penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran
yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu”
Jelas sekali di sini dikatakan bahwa ukuran yang kita pakai untuk
menghakimi akan diukurkan kepada kita. Apabila di dalam kehidupan ini kita
selalu mempergunakan ukuran belas kasihan untuk menghakimi sesama kita, maka
ukuran yang sama akan diberlakukan bagi kita pada saat penghakiman. Tetapi bila
kita selalu mempergunakan ukuran hukum untuk menghakimi sesama kita, maka
ukuran yang sama akan diberlakukan juga bagi kita. Siapakah diantara kita yang
tidak berbuat dosa lagi? Maukah saudara menerima belas kasihan sebagai ukuran
pada saat penghakiman terakhir? Jika ya, maka pergunakanlah ukuran belas
kasihan kepada orang lain yang jatuh ke dalam dosa. Amin, Tuhan memberkati.
0 Response to "KASIH MELEBIHI SEGALANYA"
Post a Comment