Kembali ke Alkitab yang sebenar-benarnya (Truly back to the Bible)

PRIORITAS DALAM KEKRISTENAN

HUKUM YANG TERUTAMA

Quote 1 = “Pelanggaran terhadap hukum yang utama akan menghasilkan dosa yang utama

Quote 2 = “Pada mulanya Kekristenan di Yerusalem adalah PERSEKUTUAN, sampai di Yunani menjadi FILSAFAT, kemudian tiba di Roma menjadi INSTITUSI, selanjutnya di Eropa menjadi KEBUDAYAAN, dan terakhir di Amerika menjadi BISNIS.

Quote 3 = “Gaya hidup Tuhan Yesus adalah memberi bukan menerima, melayani bukan dilayani, hamba bukan tuan, memberdayakan bukan memperdayakan, berbuah bukan beraktifitas, dialog bukan intimidasi…
Image result for prioritas

Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepada-Nya dan bertanya: "Hukum manakah yang paling utama?" Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini." Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: "Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia.  Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan." Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: "Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!" Dan seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.
(Markus 12:28-34)



PENDAHULUAN
Pada suatu malam, tepatnya ketika saya sedang membaca Firman Tuhan yang tertulis dalam surat Ibrani 10:8, saya tertegun dengan sebuah pernyataan yang terdapat di sana, “Di atas Ia berkata: "Korban dan persembahan, korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau kehendaki dan Engkau tidak berkenan kepadanya" – meskipun dipersembahkan menurut hukum Taurat.“ Saya terhenyak dengan fakta bahwa bangsa Israel telah mempersembahkan korban mereka sesuai dengan ketentuan yang tertulis di dalam hukum Taurat dimana artinya tidak ada yang salah dengan tata cara mereka di dalam mempersembahkan korban. Tetapi mengapa Allah menolak korban-korban yang mereka persembahkan, bukankah Allah sendiri yang telah memberikan petunjuk melalui perantaraan nabi Musa?
Masih di dalam situasi perenungan mengenai persembahan orang Israel yang ditolak, sebuah suara di dalam hati saya berkata, “Sebagaimana Aku menolak korban-korban orang Israel, demikian pula Aku menolak pujian, penyembahan dan ibadah orang Kristen”. Saya terdiam sejenak. Namun ketika pikiran saya sepenuhnya menyadari akan makna di balik perkataan-perkataan tersebut, saya berkata di dalam hati bahwa perkataan-perkataan itu pasti berasal dari iblis. Tidak mungkin Tuhan menolak ibadah, pujian dan penyembahan orang Kristen, bukankah mereka adalah umat tebusan-Nya? Saya bersiap-siap, apabila suara itu muncul lagi, saya akan segera menengkingnya di dalam nama Tuhan Yesus. Alih-alih mengulangi perkataan-Nya (maksudnya untuk membuktikan bahwa Dia tidak dapat diusir di dalam nama Yesus), Allah justru membawa saya kepada pengertian yang dalam mengenai hukum yang terutama melalui ayat-ayat yang tertulis di atas (Markus 12:28-34). Kemudian ditambah dengan Hosea 6:6 (yang dikutip dalam ayat tersebut), saya memiliki gambaran yang penuh tentang persembahan orang Israel dan jawaban atas pertanyaan mengapa Allah menolak korban-korban bangsa Israel. Terakhir, namun bukan yang terkecil, saya dibawa-Nya untuk “melihat” apa yang sedang dikerjakan oleh orang Kristen pada hari-hari ini. Saya “terpaksa” mengakui bahwa seandainya saya menjadi Allah, sayapun akan menolak pujian, penyembahan dan ibadah orang-orang Kristen.
Satu pertanyaan berikut ini akan mengantar kita kepada inti persoalan yang akan kita bahas di dalam materi ini: “Apa yang membuat kita berpikir bahwa kita lebih baik dari orang Israel sehingga korban-korban (pujian-penyembahan-persembahan-ibadah) yang kita berikan lebih berkenan kepada Allah?” Sesungguhnya, kesalahan yang dilakukan bangsa Israel – sehingga Allah menolak korban mereka – adalah kesalahan yang sama yang telah dilakukan orang Kristen pada hari ini!

Mengapa Allah menolak korban bangsa Israel?
Image result for korban bakaran

          Pertama, mereka tidak mengutamakan apa yang diutamakan Allah. Bayangkan, seandainya saudara adalah seorang bapa yang memberikan perintah A kepada anak-anak saudara, tetapi yang mereka lakukan adalah perintah B yang notabene tidak terlalu penting, apakah saudara akan merasa senang? Seberapapun banyaknya perintah B yang mereka lakukan, namun selama perintah A tidak mereka taati, maka sia-sialah semua pekerjaan mereka. Mengapa? Karena pada dasarnya mereka tidak menghargai saudara sebagai bapa mereka. Mereka hanya mau melakukan apa yang mereka mau lakukan, bukan apa yang bapanya perintahkan.
          Kedua, mereka memiliki penafsiran yang salah tentang mengasihi Allah dan mengasihi sesama. Salah satu buktinya adalah kemarahan Tuhan Yesus kepada orang-orang Farisi yang mengajarkan bahwa memberikan persembahan kepada Allah, yang seharusnya dapat dipergunakan sebagai sarana untuk membiayai kehidupan orang-tua, adalah sebuah kebenaran (Mrk 7:9-13, Mat 15:3-6).
         Pada kenyataannya, tidak sedikit saya menemukan orang-orang Kristen yang menyangka bahwa mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan, adalah mengikuti serangkaian kegiatan rohani seperti ibadah, pertemuan-pertemuan doa, pelayanan, atau kegiatan-kegiatan lainnya yang kita beri label “rohani”. Padahal ahli Taurat yang bersoal-jawab dengan Yesus perihal hukum yang utama telah menjelaskan dengan tepat perbedaan antara ‘mengasihi Tuhan’ dengan ‘beribadah’ takkala ia berkata, “…memang mengasihi Dia… jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran (ibadah) dan korban sembelihan (persembahan).” Korban bakaran dan korban sembelihan hanyalah wujud dari yang namanya mengasihi Tuhan, bukan hakekat dari mengasihi Tuhan itu sendiri.

Apa yang Alkitab ajarkan mengenai Hukum yang Terutama (Prioritas)?
Tuhan Yesus dengan jelas berkata, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Mat 22:37-40).
          Selanjutnya Tuhan Yesus memberikan sebuah penegasan, “Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini” (Mark 12:31). Artinya, sia-sialah segala hal yang telah kita perbuat seandainya kedua perintah yang utama ini tidak kita lakukan, atau kemungkinan yang lain adalah kita telah berusaha melakukannya, tetapi dengan penafsiran yang salah, sehingga dikategorikan seperti kita tidak melakukannya.
        Apakah kita sadar bahwa pelanggaran terhadap hukum yang utama akan menghasilkan dosa yang utama? Alkitab mengajarkan bahwa apapun yang dimiliki seorang manusia, yaitu berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan malaikat, mempunyai karunia untuk bernubuat, mengetahui segala rahasia dan seluruh pengetahuan, memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, bahkan memberikan seluruh harta yang kita miliki, tetapi apabila kita tidak memiliki kasih maka semuanya adalah sia-sia (1 Kor 13:1-3), sebab pada dasarnya kita adalah pendosa yang utama.
          Satu hal yang perlu saya tekankan di sini adalah berusaha mengabaikan kebenaran ini dengan dalih ketidak-mengertian – bukankah kita hidup di bawah hukum kasih karunia? – tidak akan berhasil, sebab orang-orang Farisi juga tidak mengerti alias buta secara rohani, tetapi nyatanya korban mereka tetap ditolak. Perhatikan bahwa saya sama sekali tidak menyinggung soal keselamatan, tetapi mengenai kesia-siaan atas apa yang kita kerjakan pada hari-hari ini. Saya percaya bahwa orang-orang Israel yang beriman kepada YHWH, Allah Abraham, Ishak dan Yakub, akan diselamatkan (Ibrani 11), walaupun sebagian dari korban-korban mereka ditolak Allah.


MENGASIHI TUHAN DENGAN SEGENAP HATI - JIWA - AKAL BUDI - KEKUATAN

Apa yang dimaksud dengan mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan? Saya percaya bahwa sebagian besar orang Kristen – termasuk saya dulu – akan segera jatuh ke dalam lubang penafsiran yang salah dengan melandaskan penafsiran kita berdasarkan pola pikiran manusia yang terbatas. Dari pada pusing-pusing mempelajari Alkitab untuk mencari tahu apa yang dimaksud dengan mengasihi Tuhan (menurut kacamata Allah), kita lebih senang dengan tindakan-tindakan praktis (pragmatis). Pertanyaan adalah: Apakah mengasihi Tuhan berarti mengikuti serangkaian kegiatan rohani sebagaimana yang diajarkan gereja atau hamba-hamba Tuhan?
Saya bersyukur bahwa kali ini, seorang ahli Taurat yang biasanya dikecam Tuhan Yesus, menerima pujian dari pada-Nya. Yesus melihat bagaimana bijaksananya jawaban ahli Taurat itu dan memberikan kredit tersendiri, “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” (ay 34). Dari sini kita mendapatkan sebuah petunjuk yang sangat berharga, yaitu bagaimana ahli Taurat tersebut mengutip pernyataan nabi Hosea (Hosea 6:6) untuk mengomentari jawaban Tuhan Yesus atas pertanyaan “hukum manakah yang paling utama?”

Apakah yang dikatakan nabi Hosea?

Hosea 6:6 berkata, “Sebab Aku menyukai kasih setia (Ibr: Chêsêd, Ingg: Mercy, Indo: Belas Kasihan) dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.”
Image result for knowing god
Jelas sekali di sini dikatakan bahwa Allah menyukai belas kasihan daripada korban sembelihan (persembahan) dan menyukai pengenalan akan Allah lebih dari pada korban-korban bakaran (Ibadah). Artinya, ibadah, atau kegiatan-kegiatan rohani lainnya, bukanlah jawaban (penafsiran) yang tepat atas pertanyaan “apa yang dimaksud dengan mengasihi Tuhan?” Jawaban yang lebih tepat, sebagaimana yang disampaikan nabi hosea, ialah: PENGENALAN AKAN ALLAH.


Mengapa belas kasihan dan pengenalan akan Allah lebih penting daripada persembahan dan ibadah?

Bayangkan seandainya saudara adalah seorang bapa, manakah yang akan saudara pilih:
1.   Memiliki seorang anak yang sering memberi hadiah kepada saudara sebagai bapanya, tetapi tidak punya kepedulian terhadap saudaranya yang sakit, kelaparan, atau ditimpa masalah, ATAU memiliki seorang anak yang jarang memberi hadiah kepada saudara sebagai bapanya, tetapi selalu peduli dengan keadaan saudaranya yang sedang susah?
2.  Memiliki seorang anak yang suka memuji-muji saudara sebagai bapanya yang baik, tetapi tidak mengenal saudara secara pribadi (sifat, karakter, hobi, kesukaan, dsb), ATAU memiliki seorang anak yang jarang memuji saudara, tetapi mengenal segala sesuatu tentang saudara sebagai bapanya?
Jawaban atas kedua pertanyaan di atas adalah gambaran dari apa yang diinginkan Bapa kita di Sorga. Tentu saja yang terbaik adalah memiliki anak yang melakukan keduanya. Tetapi jikalau kita dipaksa untuk memilih, maka seorang bapa yang sejati tentunya akan memilih untuk memiliki anak yang peduli kepada saudaranya dan yang mau mengenal secara pribadi siapa bapanya. Sebab untuk apa semua pemberian dan pujian tersebut jikalau tidak disertai kualitas di dalam hubungan? Hanya bapa-bapa duniawi yang bersifat materialistis dan egois yang tidak mempedulikan anak-anak-nya yang lain. 

Inti dari Kekristenan adalah Hubungan
       Dari ayat-ayat yang sudah kita pelajari, ditambah dengan perumpamaan-perumpamaan yang sudah disebutkan di atas, maka kita dapat mengambil sebuah kesimpulan. Inti dari Perjanjian Lama (Taurat) maupun Perjanjian Baru (Kekristenan) adalah HUBUNGAN yang dibangun di atas dasar KASIH! Pertama-tama kepada Allah, selanjutnya kepada sesama manusia.
Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan pujian, penyembahan, korban ataupun ibadah yang kita persembahkan. Dia adalah Allah yang memiliki segala sesuatu, bahkan hidup kita-pun adalah milik-Nya. Dia bisa saja memaksakan keinginan-Nya kepada kita, tetapi hal itu tidak dilakukan-Nya. Dia menginginkan suatu hubungan yang dilandaskan atas dasar kasih. Itulah sebabnya perintah Allah berkata: “Kasihilah…”, yang terdiri dari kata sifat “kasih” yang diubah menjadi kata kerja dengan menambahkan akhiran “lah”, dimana di dalamnya terkandung arti menjalin hubungan.

Bukti bahwa Allah merindukan Hubungan dengan Manusia

Amos 9:11-12 berkata, “Pada hari itu Aku akan mendirikan kembali pondok Daud yang telah roboh; Aku akan menutup pecahan dindingnya, dan akan mendirikan kembali reruntuhannya; Aku akan membangunnya kembali seperti di zaman dahulu kala, supaya mereka menguasai sisa-sisa bangsa Edom dan segala bangsa yang Kusebut milik-Ku," demikianlah firman TUHAN yang melakukan hal ini. “
Judul perikop dari ayat-ayat di atas ialah “Janji mengenai keselamatan” yang isinya adalah nubuatan tentang kedatangan Tuhan Yesus sebagai Juruselamat. Pertanyaannya adalah mengapa Allah memilih pondok Daud sebagai lambang pemulihan ketimbang Kemah Suci Musa atau Bait Allah Salomo? Jelas bahwa keduanya memiliki nilai prestise yang jauh lebih besar ketimbang kemah (pondok) sederhana milik Daud. Yang pertama didirikan Musa sesuai dengan petunjuk dan gambaran yang Allah berikan di atas gunung Sinai – sehingga dapat dikatakan sebagai lambang kekeramatan/kekudusan –. Sedangkan yang kedua dibangun Salomo dengan mempergunakan bahan-bahan yang tidak terkira nilainya (emas, kayu aras dan batu permata) – sehingga dapat dikatakan sebagai lambang kebesaran dan keagungan. Mengapa Allah memilih pondok Daud yang sederhana dan bersifat seadanya?


Sekilas sejarah Pondok Daud…

Sejak Yosua memimpin bangsa Israel memasuki tanah Kanaan, sampai dengan jaman imam Eli memerintah sebagai hakim atas bangsa Israel, dapat dikatakan bahwa pusat pemerintahan dan keagamaan bangsa Israel terdapat di Silo (Yos 18:1, 1 Sam 1:3). Pada saat itu, terjadi peperangan antara orang Israel dengan orang Filistin di Eben Haezer, dimana orang Filistin memukul kalah orang-orang Israel sehingga tua-tua Israel mengusulkan agar tabut perjanjian dibawa dari Silo ke Eben Haezer. Nyatanya peperangan tetap dimenangkan orang Filistin sehingga tabut perjanjian dirampas oleh mereka. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama sebab tangan Tuhan menekan bangsa Filistin dengan borok-borok yang mematikan sehingga orang-orang Filistin memutuskan untuk mengembalikan tabut perjanjian kepada orang Israel. Mereka menaruh tabut perjanjian ke atas sebuah kereta yang ditarik dua ekor lembu yang langsung menuju ke Bet Semes. Allah membunuh beberapa orang Bet Semes yang mencoba melihat ke dalam tabut perjanjian sehingga rakyat Bet Semes berkabung dan mengirim utusan kepada penduduk Kiryat Yearim agar mereka mengambil tabut perjanjian dari Bet Semes. Maka datanglah orang-orang dari Kiryat Yearim mengangkut tabut perjanjian dan membawanya ke rumah Abinadab yang terletak di atas bukit serta menugaskan Eleazar, anaknya, untuk menjaga tabut perjanjian tersebut.
Tabut perjanjian tinggal di Kiryat Yearim selama masa pemerintahan nabi Samuel (sebagai hakim terakhir atas bangsa Israel) sampai dengan masa pemerintahan raja Daud. Sayang sekali Alkitab tidak menceritakan bagaimana sejarah Kemah Suci yang semula berada di Silo dapat berpindah tempat ke bukit pengorbanan di Gibeon. Namun yang pasti, sejak kekalahan orang Israel di Eben Haezer, sampai kepada jaman raja Daud, tabut perjanjian yang seharusnya tinggal di dalam ruang maha kudus Kemah Suci, terpisah dari rumahnya selama puluhan tahun.

Raja Daud mendirikan Pondok (Kemah) Daud

Setelah raja Daud naik tahta dan menjadi penguasa atas seluruh kerajaan Israel, Daud berinisiatif untuk memindahkan tabut perjanjian dari Kiryat Yearim. Dengan gayanya bak koboi yang urakan dan tidak tahu aturan, Daud mengikuti metode bangsa Filistin yang mengangkut tabut perjanjian dengan menggunakan kereta berlembu. Allah menewaskan Uza yang berusaha memegang tabut perjanjian karena lembu-lembunya tergelicir. Kejadian ini menunda niat Daud untuk memindahkan tabut perjanjian ke Yerusalem sehingga ia menyimpang ke rumah Obed-Edom dan menaruh tabut perjanjian di sana selama tiga bulan. Namun sesudah menyadari kesalahannya, raja Daud memerintahkan orang Lewi untuk memindahkan tabut perjanjian dari rumah Obed-Edom ke Yerusalem.


Related image

Tabut Allah itu dibawa masuk, lalu diletakkan di tengah-tengah kemah yang dipasang Daud untuk itu, kemudian mereka mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan di hadapan Allah… Juga diangkatnya dari orang Lewi itu beberapa orang sebagai pelayan di hadapan tabut TUHAN untuk memasyhurkan TUHAN, Allah Israel dan menyanyikan syukur dan puji-pujian bagi-Nya.” (1 Taw 16:1, 4)

          Selanjutnya, raja Daud menetapkan bani Asaf (keturunan Lewi) bertanggung-jawab atas nyanyian syukur dan puji-pujian di hadapan tabut perjanjian di Yerusalem. Sedangkan imam Zadok dan saudara-saudaranya bertanggung-jawab atas pelaksanaan ibadah di hadapan Kemah Suci di bukit pengorbanan di Gibeon.

Lalu Daud meninggalkan di sana di hadapan tabut perjanjian TUHAN itu Asaf dan saudara-saudara sepuaknya untuk tetap melayani di hadapan tabut itu seperti yang patut dilakukan setiap hari; juga Obed-Edom dan saudara-saudara sepuaknya yang enam puluh delapan orang itu; Obed-Edom bin Yedutun dan Hosa adalah penunggu-penunggu pintu gerbang. 
Tetapi Zadok, imam itu, dan saudara-saudara sepuaknya, para imam, ditinggalkannya di hadapan Kemah Suci TUHAN di bukit pengorbanan yang di Gibeon, supaya pagi dan petang tetap dipersembahkan korban bakaran kepada TUHAN di atas mezbah korban bakaran, dan supaya dikerjakan segala yang tertulis dalam Taurat TUHAN yang diperintahkan-Nya kepada orang Israel.” (1 Taw 16:37-40)


Apa yang Istimewa dengan Pondok Daud?

Pertama, pondok Daud tidak memilik serangkaian aturan yang “njelimet” sebagaimana Kemah Suci atau Bait Allah, walaupun aturan-aturannya adalah aturan-aturan yang diberikan Allah sendiri.
Kedua, pondok Daud senantiasa diiringi nyanyian syukur dan puji-pujian selama 24 jam setiap hari. Berdasarkan kenyataan ini, orang-orang Kharismatik menafsirkan bahwa pondok Daud berbicara tentang pujian dan penyembahan. Tetapi penafsiran seperti ini adalah penafsiran yang sembarangan, sebab ketika Tuhan Yesus menggenapi nubuatan nabi Amos (mengenai janji keselamatan), Allah sama sekali tidak memulihkan pujian-penyembahan, melainkan penyembah-penyembah yang benar (orangnya, bukan penyembahannya – Yoh 4:23-24).
Ketiga, sekaligus alasan utama dan terpenting: Pondok Daud tidak memiliki pemisah antara ruang kudus dengan ruang maha kudus, sehingga setiap saat semua orang dapat datang ke hadirat Tuhan tanpa tembok pemisah diantara mereka.
Yesus sendiri benar-benar menggenapi keistimewaan pondok Daud takkala Ia mati di atas kayu salib. Alkitab berkata bahwa tabir bait Allah, yaitu tembok pemisah yang didirikan oleh manusia (secara rohani maknanya adalah dosa), sudah dirubuhkan Allah, sekali untuk selama-lamanya. Tetapi peraturan-peraturan yang dibuat manusia (baca: gereja), seakan-akan mengembalikan kebebasan orang Kristen kepada perhambaan atas hukum Taurat. Sama halnya seperti bait Allah Salomo yang menggantikan kesederhanaan pondok Daud, demikian pula aturan-aturan gereja “menghalangi” orang-orang berdosa datang kepada kesederhanaan Yesus, padahal Tuhan Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”
Seorang rekan pendeta mengatakan, “lebih mudah masuk Sorga dari pada masuk gereja.” Ironis sekali bahwa gereja yang mengajarkan tentang kasih, justru menjadi momok yang sangat menakutkan bagi sebagian orang dari kalangan tertentu. Pernahkah saudara mendengar keluhan dari orang-orang miskin yang diajak ke gereja? Dengan segala perasaan rendah diri mereka berkata: “Saya tidak punya baju…”. Ketika semua negara mengalami pandemi virus Corona (Covid19) di tahun 2020, semua kegiatan gereja dihentikan. Sebagian besar kebaktian hari minggu di perkotaan diubah polanya menjadi "ibadah streaming", tetapi apa kira-kira jeritan hati kaum papa? "Kami tidak punya uang untuk membeli pulsa". Hai orang-orang Kristen, dengarkan suara jeritan hati mereka, sebab suara keluhan mereka sampai ke hadirat Tuhan!

Kerinduan Hati Allah adalah Tinggal Dekat dengan Manusia
Setelah Allah mengokohkah kerajaan Daud dengan mengijinkan Hiram, raja negeri Tirus, mengirimkan tukang-tukang batu dan tukang-tukang kayu untuk mendirikan sebuah istana bagi raja Daud (1 Taw 14:1), timbulah suatu keinginan di dalam hati Daud untuk mendirikan bait Allah, yaitu takkala ia melihat bahwa dirinya tinggal di dalam rumah mewah sedangkan tabut perjanjian tinggal di dalam tenda sederhana (1 Taw 17:1). Pada malam itu juga datanglah firman Allah kepada Natan:
Pergilah, katakanlah kepada hamba-Ku Daud: Beginilah firman TUHAN: Bukanlah engkau yang akan mendirikan rumah bagi-Ku untuk didiami.  Aku tidak pernah diam dalam rumah sejak Aku menuntun orang Israel keluar sampai hari ini, tetapi Aku mengembara dari kemah ke kemah, dan dari kediaman ke kediaman.  Selama Aku mengembara bersama-sama seluruh orang Israel, pernahkah Aku mengucapkan firman kepada salah seorang hakim orang Israel, yang Kuperintahkan menggembalakan umat-Ku, demikian: Mengapa kamu tidak mendirikan bagi-Ku rumah dari kayu aras?” (1 Taw 17:4-6).

Related image
Allah tidak tertarik terhadap rencana Daud untuk mendirikan sebuah rumah bagi Diri-Nya. Daud tidak menyadari bahwa Allah lebih senang tinggal di dalam kemah sederhana yang ia dirikan di tengah-tengah orang Israel ketimbang rumah mewah yang terbuat dari kayu aras. Ayat ke-5 menjelaskan semuanya: Allah lebih senang tinggal diantara orang Israel, yaitu mengembara dari rumah ke rumah, dari kediaman ke kediaman.




Manusia adalah Rumah Kediaman Allah yang paling Ia dambakan

Alkitab menyatakan bahwa darah Yesus telah menyucikan kita dari semua dosa kita. Pada saat itu hal itu terjadi, Allah mengaruniakan Roh-Nya yang Kudus untuk tinggal bersama-sama dengan roh kita, yaitu dalam rangka melahir-barukan kita menjadi anak Allah. Sejak saat itu status kita menjadi orang kudus untuk selama-lamanya (kecuali murtad – Ibrani 6:4-6), yaitu karena keberadaan Roh Allah yang menguduskan kita setiap saat. Sama halnya seperti gunung Sinai yang menjadi kudus karena kehadiran Allah – sehingga Allah memerintahkan Musa untuk menanggalkan kasutnya – demikian pula kita menjadi kudus karena kehadiran Allah di dalam diri kita, bukan karena kita tidak pernah berbuat dosa lagi.

Satu rumah tapi dianggap Sepi…!

          Kerinduan Allah untuk tinggal dekat dengan manusia sudah terwujud melalui karya kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib yang memulihkan pondok Daud, yaitu melalui kehadiran Roh Kudus yang tinggal di dalam kita. Tetapi bagaikan sepasang kekasih yang semula rindu untuk cepat-cepat tinggal di bawah satu atap melalui pernikahan, namun justru merasa asing satu terhadap yang lainnya setelah mereka menikah, demikian pula yang dirasakan Allah pada saat ini. Allah merindukan lebih dari sekedar tinggal di dalam kita. Allah merindukan pengenalan, yaitu: KEINTIMAN!
Related image
Seorang rekan pendeta menceritakan sebuah kisah yang menyedihkan. Beberapa tahun yang lalu, sepasang kekasih muda memasuki lembaga pernikahan dengan mimpi-mimpi yang indah tentang masa depan perkawinan mereka. Tetapi kehidupan ternyata tidak seindah harapan. Mereka kehilangan komunikasi satu terhadap yang lainnya. Rumah tingkat dua dan berbagai macam barang mewah seakan-akan menunjang kehancuran rumah tangga ini. Mereka mempergunakan sarana SMS (waktu itu belum jaman BBM atau WA) untuk saling berbicara. Mereka tinggal satu rumah, tetapi tidak saling mengenal.
          Saya teringat kepada sebuah lagu yang dinyanyikan Agnes Monica yang sepertinya menggambarkan bagaimana perasaan Allah saat ini:
Pernahkah kau bicara, tapi tak didengar? Tak dianggap sama sekali…
Pernahkah kau tak salah, tapi disalahkan? Tak diberi kesempatan…

Ku hidup dengan siapa? Ku tak tahu kau siapa?
Kau kekasihku tapi orang lain bagiku…
Kau dengan dirimu saja… Kau dengan duniamu saja…
Teruskanlah… Teruskanlah… Kau begitu…!

Kau tak butuh diriku. Aku patung bagimu.
Cinta bukan kebutuhanmu…
Teruskanlah… Teruskanlah… Kau begitu…!

Kekristenan berasal dari Timur yaitu: Persekutuan
          Saya sadar bahwa salah satu kerinduan hati Allah yang terbesar adalah agar semua orang diselamatkan, tetapi hal itu tidak berarti bahwa kita harus mendirikan mega church. Jumlah yang banyak tidak harus dikumpulkan dalam satu tempat ibadah yang besar. Saya setuju dengan ungkapan seorang pendeta yang berkata, “Pada mulanya Kekristenan di Yerusalem adalah PERSEKUTUAN, sampai di Yunani menjadi FILSAFAT, kemudian tiba di Roma menjadi INSTITUSI, selanjutnya di Eropa menjadi KEBUDAYAAN, dan terakhir di Amerika menjadi BISNIS.” 
          Rasanya tidak salah apabila saya mengatakan bahwa kekristenan yang ada pada hari ini adalah produk orang barat: Pertemuan yang terpusat di gedung gereja. Jabatan yang menggambarkan sakralitas individu. Liturgi yang membatasi kebebasan setiap orang percaya. Mimbar yang menyatakan pemisahan strata antara para imam dengan orang awam. Kebaktian yang bersifat satu arah. Pakaian yang menunjukkan perbedaan kelas ekonomi, dsb.
          Kita seolah-olah lupa bahwa kekristenan dimulai dari TIMUR, bukan dari BARAT! Agama Kristen tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sebuah organisasi (yang posisinya menggantikan mahkamah agama orang Yahudi), bahkan tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sebuah agama. Kekristenan adalah GAYA HIDUP, yaitu gaya hidup menjalin HUBUNGAN, dengan unsur utamanya adalah KASIH. Oleh sebab itu, menjadi Kristen (pengikut Kristus) yang sejati adalah mereka yang mengutamakan hubungan kasih, bukan kegiatan-kegiatan rohani (ibadah, persekutuan doa, pelayanan, dll), juga bukan acara-acara (retreat, KKR, pelatihan, dll), apalagi tradisi (ibadah hari minggu, perayaan natal, dll).
          Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa mengikuti kegiatan-kegiatan rohani adalah tidak berguna atau salah di hadapan Tuhan, tetapi apa yang saya mau coba sampaikan adalah kebenaran bahwa hal-hal tersebut adalah SARANA atau CARA untuk mengenal Allah, bukan HAKEKAT dari pengenalan itu sendiri. Tidak sedikit saya mengenal orang Kristen yang taat beribadah setiap minggu dan membaca renungan setiap hari, tetapi kehidupannya tidak pernah berubah dari tahun ke tahun. Mereka terjebak ke dalam RUTINITAS AGAMAWI yang tidak lain adalah salah satu musuh utama pelayanan Tuhan Yesus.
        Mungkin salah satu pelajaran paling berharga yang harus kita petik dari perdebatan antara orang-orang Farisi dengan Tuhan Yesus adalah pentingnya mengutamakan “Why” dari pada “How” atau  “Makna” dari pada “Cara”. Kita harus mulai mempertanyakan: “mengapa Allah memerintahkan persepuluhan di dalam Perjanjian Lama?”, bukannya “kemana saya harus memberikan persepuluhan”. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan model seperti ini akan mengarahkan kita kepada hati Allah yang tidak lain akan menuntun kita kepada pengenalan akan Allah.

Apa yang dimaksud Pengenalan akan Allah?
          Pengenalan akan Allah adalah sebuah konsep yang sangat sederhana. Bayangkan saja bagaimana hubungan antara suami dengan istri yang saling mengenal pasangannya. Mereka kenal luar-dalam pasangan mereka. Mereka tahu jalan pikiran pasangan mereka. Mereka tahu betul perasaan, kemarahan, kecemburuan, kegelisahan, kegembiraan, keburukan, kebaikan, kelebihan, kekurangan, kesukaan…dll dari pasangan mereka. Demikian juga seharusnya pengenalan kita akan Allah. Mereka tahu betul jalan pikiran Allah, perasaan-Nya, kesukaan-Nya, kebaikan-Nya, kemarahan-Nya, kecemburuan-Nya… dan segala hal tentang Allah mereka. Intinya Allah tidak akan menyembunyikan diri terhadap mereka yang ingin mengenal-Nya.
          Satu hal yang saya pelajari mengenai pengenalan akan Allah. Semakin mereka mengenal Allah, maka semakin radikal hidup mereka. Mereka tahu apa yang Allah sudah kerjakan di dalam  sejarah, tetapi mereka juga tahu apa yang Allah akan lakukan di masa yang akan datang. Mereka tahu panggilan hidup mereka. Mereka juga tahu apa yang harus mereka kerjakan pada hari-hari ini. Mereka menyerahkan hidup mereka bagi Allah (dalam arti yang sesungguhnya).
          Saya sudah melihat dan mengenal secara langsung tipe orang-orang yang saya sebutkan di atas. Saya banyak belajar dari kehidupan mereka. Mereka orang biasa dan memiliki kelemahan sama seperti kita, tetapi saya “melihat” sesuatu yang berbeda dengan pengajaran mereka. Mungkin hal inilah yang membuat orang-orang Israel takjub ketika mereka mendengar pengajaran Tuhan Yesus, sehingga mereka menilai pengajaran-Nya “Berkuasa, tidak seperti ahli Taurat” (Mat 7:28; 13:54; 22:33, Mar 1:22; 11:18, Luk 4:32).

Radikal… Yes! Ekstrem… No!
          Mungkin diantara saudara ada yang berpendapat bahwa saya adalah orang yang ekstrem. Tetapi saya akan menjawab: TIDAK! Saya bukan ekstrem, melainkan RADIKAL! Apa bedanya? Melarang orang pergi ke dokter karena percaya pada kesembuhan Ilahi adalah ekstrem. Tidak boleh mendengarkan musik selain musik gereja adalah ekstrem. Tidak boleh main kartu karena dianggap (dekat dengan) judi adalah ekstrem. Tetapi saya tidak ekstrem.
          Saya mau menjadi orang yang radikal karena menurut pendapat saya, Yesus adalah orang yang radikal. Perhatikan saja kehidupan dan pelayanan Yesus. Bagaimana Ia menentang semua kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan orang Israel yang tidak sesuai dengan kebenaran. Bagaimana Ia menentang cara-cara atau tradisi-tradisi yang bertentangan dengan maksud Allah yang semula (mis: tradisi mengangkut tilam pada hari sabat). Seandainya semua orang mau jujur terhadap penilaian mereka, maka saya yakin bahwa semua orang akan setuju bahwa Yesus adalah orang yang radikal. Dia berani menentang arus demi melawan sistem keagamaan yang dibuat mahkamah agama. Dia berani menyatakan kebobrokan moral para pemimpin agama yang hanya mencari muka di hadapan manusia. Dia juga berani mengungkapkan keterikatan manusia terhadap Mamon, khususnya orang Farisi.


Sebaliknya, perhatikan gaya hidup Tuhan Yesus. Dia memberi, bukan menerima. Dia melayani, bukan dilayani. Dia berkorban, bukan mencari untung. Dia menjadi hamba, bukan Tuan (meskipun Dia adalah Tuan atas segala tuan). Dia hidup dalam kejujuran, bukan manipulasi. Dia membuka hidupnya bagi orang lain, bukan kemunafikan. Dia berdialog, bukan intimidasi. Dia memberdayakan orang-orang, bukan memperdayakan orang lain demi kepentingan pribadi. Dia menekankan buah, bukan aktifitas. Dia menjalin hubungan, bukan otoriter. Dia menyatakan kasih, bukan sekedar perintah. Dia mempercayai, bukan mengendalikan, dsb...

 

MENGASIHI SESAMA SEPERTI DIRI SENDIRI

Perintah kedua yang dinyatakan Tuhan Yesus, yang setingkat nilainya dengan perintah yang pertama, adalah mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Mudah bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa pengenalan akan Allah lebih tinggi nilainya dari pada ibadah, tetapi bagaimana dengan mengasihi sesama lebih tinggi dari pada persembahan?


Mengapa mengasihi sesama lebih utama dari pada persembahan?

Seandainya saudara adalah seorang bapa, manakah yang akan saudara pilih:
1.     Memiliki seorang anak yang sering memuji saudara sebagai bapanya, tetapi tidak pernah akur dengan saudara-saudaranya, ATAU memiliki anak yang jarang memuji saudara, tetapi hidup dalam kasih dengan saudara-saudaranya?
2.  Memiliki seorang anak yang mau memberikan rumah dan mobil mewah buat saudara, tetapi membiarkan saudara-saudaranya hidup dalam kelaparan, ATAU memiliki anak yang tidak pernah memberi rumah atau mobil mewah, tetapi mengasihani saudara-saudaranya yang tidak bisa makan?
          Jawaban atas kedua pertanyaan di atas akan menghakimi diri kita secara langsung. Kita beribadah dan memuji Tuhan setiap hari minggu, tetapi di saat yang sama kita tidak pernah akur dengan saudara-saudara kita yang lainnya. Gereja barat berperang melawan gereja timur. Aliran yang satu menyatakan aliran yang lainnya sesat. Denominasi yang satu menyalahkan denominasi yang lain. Gereja yang satu menuding kepada gereja yang lain bahwa mereka telah mencuri domba, padahal semua domba adalah milik Tuhan, bukan milik gereja (ujung-ujungnya pasti urusan Mamon atau Babel).
          Lebih dari sekedar pertikaian yang sudah saya sebutkan di atas, faktanya kita berlomba-lomba untuk membangun gedung gereja (yang katanya sebagai persembahan buat Tuhan), sementara saudara-saudara kita yang kelaparan tidak pernah kita pedulikan. Inikah model gereja yang hampir setiap minggu menyerukan tentang kasih? Apakah kita lupa bahwa Tuhan Yesus pernah berkata kepada orang Israel, “rombak bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (Yoh 2:19). Siapakah yang dimaksudkan-Nya? Tentu saja kita yang dimaksudkan-Nya, yaitu orang-orang yang percaya kepada-Nya. Perjanjian Baru mengajarkan bahwa kita adalah Bait Allah (1 Kor 3:16), yaitu tempat kediaman Allah yang dibangun oleh Tuhan Yesus sendiri. Perhatikan bahwa Allah tidak peduli terhadap kemegahan bait Allah yang begitu dibangga-banggakan orang Yahudi, termasuk oleh murid-murid-Nya (Mark 13:1). Jikalau demikian, mengapa fokus kita bukan membangun orang-orang percaya, melainkan membangun gedung-gedung gereja yang memakan biaya puluhan bahkan ratusan milyar rupiah?
          Apakah saya salah seandainya di malam hari itu (pada saat saya mendengar sebuah suara di dalam hati yang menyatakan bahwa Allah akan menolak pujian, penyembahan dan ibadah orang Kristen) saya menyerah kepada Allah dan kemudian berkata di dalam hati: “Engkau memang pantas untuk menolak pujian, penyembahan dan ibadah orang Kristen, sebab kami memang tidak melakukan apa yang Engkau perintahkan kepada kami.”


Apakah benar kita mengasihi Allah?

Alkitab berkata, “Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (1 Yoh 4:20-21).
Related image
Jelas sekali di sini dikatakan bahwa tidak mungkin orang dapat mengaku mengasihi Allah, namun di waktu yang sama ia membenci saudaranya. Kita tidak perlu heran dengan hal ini karena hukum “mengasihi Tuhan” dan “mengasihi sesama” adalah hukum yang bersifat “Two in One” alias satu kesatuan.
Tanda dari orang yang mengasihi Allah adalah mengasihi saudaranya. Jadi apabila ada orang Kristen yang berkata: “aku mengasihi Allah”, tetapi dia tidak mengasihi sesamanya, maka sesungguhnya Alkitab berkata bahwa mereka adalah para pendusta. Sama seperti seorang suami yang berkata kepada istrinya, “aku mengasihimu”, tetapi hanya melakukan apa yang mereka mau lakukan (bukan apa yang dikehendaki istrinya), demikianlah orang Kristen yang mengaku mengasihi Allah, tetapi tidak mengasihi sesamanya.
Yakobus saudara Tuhan Yesus secara gamblang menegaskan tentang hal ini: "Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati." (Yak 2:15-17).


Ibadah bisa percuma…!

Suatu kali Yesus marah besar kepada orang Farisi, “Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.  Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." (Mat 15:7-9).
Luar biasa… Ibadah bisa percuma! Mengapa? Pertama, hati orang Israel jauh dari Allah. Artinya mereka tidak memiliki pengenalan akan Allah. Mereka tidak mengenal isi hati Allah, yaitu mereka tidak tahu apa yang penting bagi Allah. Kedua, ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Yesus marah kepada orang-orang Farisi karena firman Allah mereka abaikan demi memelihara perintah (adat istiadat) mereka sendiri. Ayat ke-5 dan 6 adalah jawabannya, “Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.” (Mat 15:5-6).
Bayangkan, berapa banyak orang Kristen yang pada hari ini rela menyumbang puluhan bahkan ratusan juta rupiah demi membangun gedung gereja, tetapi sulit sekali menyumbangkan uang mereka ketika mereka diperhadapkan dengan saudaranya yang kekurangan? Mari kita telaah lebih jauh. Dari mana mereka memiliki pemahaman seperti itu? Walaupun gereja tidak secara terang-terangan mengajarkan apa yang diajarkan oleh orang Farisi, tetapi dengan iming-iming bahwa Allah akan memberkati orang-orang yang menyumbang pembangunan gereja, maka pada dasarnya apa yang mereka ajarkan adalah pengajaran yang sama dengan yang diajarkan orang Farisi.
Sebaliknya, Amsal 19:17 berkata, “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu.” Saya sudah mencari di seluruh Alkitab dan tidak menemukan ayat lain yang mengatakan bahwa Allah bisa berhutang kepada manusia selain ayat ini. Allah adalah pemilik dari segala sesuatu, tetapi Dia mengikatkan Diri-Nya dengan sebuah perjanjian bahwa apabila kita menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, maka Dia berhutang kepada kita. Dahsyat men…!
Uraian secara panjang lebar mengenai makna ibadah yang dikehendaki Tuhan dapat saudara baca di dalam artikel yang berjudul "Makna Ibadah Yang Benar". Artikel ini semakin meneguhkan bahwa kekristenan kita jauh dari perintah Allah dalam Kitab Suci.


Orang Samaria yang baik hati – Standar sesama manusia menurut Tuhan Yesus

Lukas 10:25-37 berkata: “… "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"… "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."… "Dan siapakah sesamaku manusia?" Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.  Kebetulan ada seorang PENDETA turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.  Demikian juga seorang PELAYAN datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang MUSLIM, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.  Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.  Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
Siapakah di antara ketiga orang ini
, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya."…



          Dengan sengaja saya merubah kata “Imam”, “Lewi” dan “Samaria” secara berurutan menjadi “Pendeta”, “Pelayan” dan “Muslim” karena memang ketiga contoh orang inilah yang paling cocok untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang terdapat di dalam perumpamaan tersebut. Mari kita eksposisikan bersama-sama:
Pertama, ahli Taurat, yang ingin membenarkan dirinya, berkata kepada Yesus, “Dan siapakah sesamaku manusia?” (ayat 29). Perhatikan kata “ku” yang menunjukkan bahwa orang lain (sesama manusia) adalah obyek dari aku. Dengan perkataan lain, orang ini sedang bertanya, “siapakah orang yang harus saya kasihi?” Dari sini kita dapat melihat bahwa fokus utamanya adalah diri sendiri, yaitu supaya dianggap sebagai orang yang mengasihi orang lain.
Sebagai jawabannya, Tuhan Yesus memberikan sebuah perumpamaan yang dikenal dengan sebutan “Orang Samaria yang baik hati”, dan sesudah itu Ia bertanya, “Siapakah di antara ketiga ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (ayat 36). Perhatikan bahwa fokus utama Tuhan Yesus adalah orang yang jatuh ke tangan penyamun itu, yaitu subyek, bukan diri kita sendiri. Dengan perkataan lain, Tuhan Yesus sedang menegaskan, “apakah saya adalah sesama manusia menurut orang lain?” Maksudnya, kita akan dianggap sebagai sesama manusia menurut orang lain ketika kita menunjukkan kasih kita kepada mereka.
Kedua, Tuhan Yesus sedang memberikan sebuah sindiran yang sangat tajam dengan memperbandingkan antara Imam, orang Lewi, dengan orang Samaria. Jelas sekali bahwa di dalam Perjanjian Lama, imam-imam adalah jabatan yang sangat tinggi, yaitu perantara antara Allah dengan manusia, yakni orang-orang yang dipercayakan untuk menyelenggarakan ibadah. Sedangkan orang Lewi adalah orang-orang yang dipanggil secara khusus untuk bertanggung jawab atas segala perlengkapan Kemah Suci atau Bait Allah. Mari kita bandingkan dengan orang Samaria, yang tidak lain adalah orang-orang Yahudi yang terbuang (diusir oleh nabi Ezra karena perkawinan campur; Ezra 10:1-44). Mereka memiliki latar belakang sejarah yang kuat untuk membenci orang Yahudi. Kenyataan ini ditambah lagi dengan kerasnya peraturan yang melarang orang Yahudi bergaul dengan orang Samaria (Yoh 4:9). Singkatnya, orang Samaria membenci orang Yahudi, sebagaimana orang Yahudi membenci orang Samaria (bandingkan dengan orang Kristen dan Muslim).
Tidak diragukan lagi, Tuhan Yesus sedang menjelaskan dua hal penting kepada kita: Pertama, standar sesama manusia – yang harus kita kasihi – adalah “musuh” kita. Di tempat lain Tuhan Yesus berkata, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat 5:44).
Kedua, semua manusia adalah sama. Tidak ada lagi pembagian antara orang Yahudi dan non-Yahudi (Ef 2:11-22). Kita harus sadar bahwa Yesus adalah Tuhan bagi semua orang, baik yang menerima maupun menolak Dia. Kesalahan orang Israel adalah memberlakukan YHWH sebagai Allah yang eksklusif bagi orang Israel, padahal tugas mereka adalah memperkenalkan YHWH, sebagai Allah yang Esa, pencipta dari segala sesuatu, kepada dunia. Hendaklah kita tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan mengeksklusifkan Tuhan Yesus sebagai milik orang Kristen. Tugas kita adalah memperkenalkan Yesus, Sang Kasih, kepada dunia dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan kasih, yaitu dengan menjadi sesama manusia bagi mereka.

Tuhan Yesus memberikan Perintah Baru

Sayang sekali tidak banyak orang Kristen yang mengetahui bahwa perintah mengasihi sesama manusia sudah diperbaharui dan ditingkatkan menjadi lebih berat dari sebelumnya. Perintah yang semula berkata, “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, sudah diganti menjadi, “saling mengasihi sama seperti Yesus telah mengasihi kita”, yaitu rela berkorban dan mati bagi kita.
Tuhan Yesus berkata, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh 13:34-35).
Menarik untuk disimak bahwa kita akan dikenal dunia sebagai murid-murid Kristus, bukan karena kita sudah dibaptis, bukan karena kita mengikuti serangkaian pengajaran di gereja, melainkan apabila kita saling mengasihi.

Bagaimana praktek saling mengasihi!

Alkitab berkata, “Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.  Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.  Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat 22:37-40).
Image result for love another
          Sedangkan di tempat lain Tuhan Yesus menegaskan, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.“ (Mat 7:12).
          Dari kedua ayat ini kita dapat menarik sebuah kesimpulan yang saling menjelaskan, yaitu inti dari seluruh isi Perjanjian Lama (hukum Taurat dan kitab para nabi) dan bagaimana kita dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Disini kita melihat bahwa mengasihi sesama adalah perkara yang sederhana – sebagaimana pengenalan akan Allah – yaitu: Melakukan apa yang kita ingin orang lain lakukan kepada kita, atau jangan melakukan apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan kepada kita.
          Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari: Tentunya kita tidak senang apabila diharuskan menunggu teman kita yang datang terlambat. Oleh sebab itu, janganlah kita datang terlambat. Dengan selalu datang “on time”, secara tidak sadar sesungguhnya kita telah mengasihi orang lain. Jelas sekali bagi saya bahwa orang-orang yang sering/selalu datang terlambat adalah orang-orang yang tidak peduli terhadap orang lain dan hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kasih kepada sesamanya. Sedangkan menurut 1 Kor 13:1-3, orang yang tidak memiliki kasih maka semua yang ada padanya (karunia, pengetahuan, iman, persembahan) bagaikan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing, alias sia-sia atau sedikitpun tidak ada gunanya/faedahnya bagi Allah.


PENUTUP – Seruan Untuk Kembali

Saya menyerahkan penilaian akhir kepada saudara, apakah suara yang saya dengar, yang berkata: “Sebagaimana Aku menolak korban-korban orang Israel, demikian pula Aku menolak pujian-penyembahan dan ibadah orang Kristen” berasal dari Allah, diri saya sendiri, atau berasal dari iblis. Saya percaya bahwa semua orang, yang berasal dari berbagai macam aliran, pengalaman dan teologi, berhak untuk memberikan pendapatnya masing-masing.
Terlepas dari benar atau tidaknya perkataan yang saya dengar tersebut, kita tidak dapat menyangkal bahwa kita memang tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita sibuk dengan hal-hal yang kita anggap sebagai perwujudan kasih kita kepada Allah. Padahal Alkitab, yaitu perkataan Allah, yang tidak lain adalah ungkapan isi hati Allah, sudah memberitahukan kepada kita apa yang seharusnya kita lakukan.
Marilah kita kembali kepada perintah yang utama (prioritas), yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan, - yakni pengenalan akan Allah – dan mengasihi sesama seperti diri kita sendiri, yaitu semua manusia tanpa terkecuali. Sebab Tuhan Yesus berkata “Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Amin.


2 Responses to "PRIORITAS DALAM KEKRISTENAN"

  1. Shalom bapak, ibu dan saudara/i yang dikasihi oleh Tuhan. Apakah ada diantara bapak, ibu maupun saudara/i yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael dan V'ahavta? Kalimat pernyataan keesaan YHWH ( Adonai/ Hashem ) dan perintah untuk mengasihiNya yang dapat kita temukan dalam Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 5 yang juga pernah dikutip oleh Yeshua/ ישוע/ Yesus di dalam Injil khususnya dalam Markus 12 : 29 - 31, sementara perintah untuk mengasihi sesama manusia dapat kita temukan dalam Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18. Mari kita pelajari cara membacanya satu-persatu seperti yang akan dijabarkan di bawah ini :

    Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 5, " שְׁמַ֖ע יִשְׂרָאֵ֑ל יְהֹוָ֥ה אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהֹוָ֥ה ׀ אֶחָֽד׃. וְאָ֣הַבְתָּ֔ אֵ֖ת יְהֹוָ֣ה אֱלֹהֶ֑יךָ בְּכׇל־לְבָבְךָ֥ וּבְכׇל־נַפְשְׁךָ֖ וּבְכׇל־מְאֹדֶֽךָ׃. "

    [ Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " Shema Yisrael! YHWH [ Adonai ] Eloheinu, YHWH [ Adonai ] ekhad. V'ahavta e YHWH [ Adonai ] Eloheikha bekol levavkha uvkol nafshekha uvkol me'odekha ]

    Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18, " וְאָֽהַבְתָּ֥ לְרֵעֲךָ֖ כָּמ֑וֹךָ. "

    [ Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " V'ahavta l'reakha kamokha " ]

    Untuk artinya dapat dilihat pada Alkitab LAI.

    Diucapkan juga kalimat berkat seperti ini setelah diucapkannya Shema

    " . בָּרוּךְ שֵׁם כְּבוֹד מַלְכוּתוֹ לְעוֹלָם וָעֶד. "
    ( Barukh Shem kevod malkuto, le'olam va'ed, artinya Diberkatilah Nama yang mulia, KerajaanNya untuk selamanya )

    🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜✍🏼🕯️❤️🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🕍✝️🗺️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🍷🥛🍯🦁🦅🐂🐏🐑🐎🦌🐪🕊️🐍₪🇮🇱

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tentu saja... Nama Allahku adalah YHWH (untuk selama-lamanya). Kata Allah adalah terjemahan dari Elohim, bukan nama diri, sebab nama diri tidak dapat diberi imbuhan -ku atau -mu (contoh: Allah-ku, Allah-mu).

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel