Kesaksian
KESAKSIAN HIDUP
Saya dilahirkan sebagai anak bungsu dari tiga
bersaudara di sebuah keluarga Kristen yang tidak terlalu taat. Walaupun ibu
saya seorang aktifis gereja namun kehidupannya bisa dikatakan tidak menjadi
terang di tengah-tengah keluarganya. Tidak aneh kalau saya bertumbuh menjadi
anak Kristen kapal selam yang hanya muncul sekali-sekali ke permukaan pada saat
hari natal.
Suatu hari, ketika saya duduk di bangku SMP (sekolah
negeri), guru agama saya bertanya: “Kamu gereja di mana?” Dengan gelagapan
karena panik saya menjawab: “Itu gereja yang dibelokan jalan Wastukencana,
namanya saya lupa.” Gereja yang dimaksud adalah gereja GPIB Bethel. Saya ingat
letak gereja tersebut bukan karena saya berjemaat di sana melainkan karena
setiap kali saya pulang dari alun-alun, rute perjalanan saya pasti melewati
gereja tersebut. Hahaha… Saya selalu tersenyum nakal ketika mengingat kejadian
tersebut. Sampai dengan hari ini saya tidak akan pernah lupa dengan ekspresi
ketidak-percayaan beliau saat mendengar jawaban saya. Mungkin karena kasihnya,
beliau tidak melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Bayangkan betapa
banyaknya kebohongan yang harus saya lakukan seandainya perbincangan
dilanjutkan.
Peristiwa pertama yang membuat saya yakin bahwa jalan
hidup kita telah ditentukan oleh Tuhan terjadi ketika saya menginjak kelas 3
SMP. Seorang teman mengajak saya ikutan persekutuan remaja yang acaranya dilaksanakan
seminggu sekali setelah pulang sekolah. Beberapa kesaksian yang saya dengar
mulai membuat saya tertarik kepada Tuhan, hingga tiba waktunya dimana saya
diajak untuk menghadiri acara KKR yang diselenggarakan oleh gereja yang
menaungi persekutuan tersebut. Acara dan isi khotbahnya saya sudah lupa, tetapi satu peristiwa penting
yang masih terus terbayang di dalam ingatan saya adalah tantangan menerima
Yesus di akhir khotbah. Entah karena permainan emosi atau sekedar ikut-ikutan,
akhirnya saya maju ke depan untuk mengucapkan doa terima Yesus. Satu hal yang
tidak saya ketahui adalah salah seorang teman ibu saya hadir di sana dan beliau
bukan hanya sekedar mengenali saya, ia bahkan menerima suatu pernyataan dari
Tuhan.
Sekian minggu
berlalu tanpa adanya kejadian spesial sampai suatu hari sepulang sekolah ibu saya
bertanya tentang KKR yang saya hadiri. Saya kaget karena saya tidak pernah
memberitahukan tentang KKR tersebut kepada siapapun. Selanjutnya ibu saya
menceritakan tentang bagaimana seorang temannya hadir di KKR tersebut dan bagaimana ia mendapatkan pernyataan bahwa pada suatu hari kelak saya akan menjadi seorang pendeta. Alangkah terkejutnya saya
mendengar berita tersebut dan secara spontan saya menjawab: “Amit-amit,
ngapapin jadi pendeta?” Hahaha…. Jawaban yang jujur dan sangat rasional
(setidaknya untuk pemikiran anak SMP). Namun harus saya akui secara terus
terang bahwa sejak saya memasuki jenjang pendidikan SMA, entah darimana
asalnya, hati saya semakin lama semakin yakin bahwa suatu hari saya akan
menjadi pendeta. Sementara pikiran saya menolak untuk menjadi pendeta –
terbukti dengan jalan hidup yang saya pilih melalui pendidikan sekuler – namun
jauh di dalam lubuk hati saya yang terdalam saya tahu bahwa suatu hari saya akan menjadi
seorang pendeta.
Konflik yang terjadi di dalam diri saya berlangsung
selama beberapa tahun lamanya sampai akhirnya saya menyerah kepada Tuhan
(disertai dengan beberapa kejadian ajaib yang terlalu panjang untuk
diceritakan). Di dalam pikiran saya pada waktu itu, okey nanti saya akan menjadi pendeta ketika saya mencapai umur
40-an. Namun belum lagi genap usia 28 tahun, saya sudah dipanggil untuk melayani di
ladang-Nya. Semuanya bermula dari keinginan yang muncul secara tiba-tiba untuk berpuasa tanpa
tujuan yang jelas selain keinginan untuk menguduskan diri. Selama 3 hari
berpuasa, tidak pernah terbetik sedikitpun di dalam pikiran saya bahwa inilah awal mula perjalanan
hidup saya di bidang kerohanian. Di akhir hari ketiga, dalam perjalanan pulang
dari kantor menuju ke rumah (masih dalam kondisi berpuasa hari terakhir) saya merasakan
kehangatan hadirat Tuhan di dalam hati saya. Secara reflek hati saya berdoa
kepada Tuhan: “Kapan Engkau akan memanggil aku?”, detik berikutnya – saya yakin bahwa waktu dan situasinya sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan – telinga saya mendengar kata-kata
dari sebuah lagu pujian versi Frankie Sihombing yang sedang diputar malam itu (lagu tersebut dinyanyikan secara terbalik oleh Frankie Sihombing sehingga seolah-olah Tuhan yang sedang bernyanyi): “Aku gembala yang baik, Kumenuntun hidupmu, dan membawamu ke air tenang, menyegarkan jiwamu,
sekalipun kau berjalan dalam lembah kekelaman, janganlah gentar kau
melangkah sebab Aku besertamu.” Pada saat itu juga, tahulah saya di dalam hati bahwa
itulah waktunya Tuhan.
Sesampainya di rumah, saya menceritakan pengalaman
yang saya rasakan kepada istri saya yang kemudian menjadi sumber kegalauan yang
cukup besar bagi kami berdua pada waktu itu. Saya mengajak istri saya berpuasa
selama 3 hari, tetapi kali ini dengan kesadaran penuh tentang pergumulan yang
kami hadapi. Secara pribadi ada tiga beban pergumulan saya. Pertama, saya
berdoa: “Tuhan, saya masih muda, siapa yang mau mendengar?”. Jawaban Tuhan berasal
dari bacaan Alkitab yang saya baca pagi itu: “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah
teladan bagi orang-orang percaya…” (1 Tim 4:12). Kedua, saya berdoa:
“Tuhan, bagaimana penghidupan saya nanti?” Lagi-lagi jawaban Tuhan berasal dari
bacaan Alkitab di pagi hari: “Seorang
prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal
penghidupannya, supaya ia berkenan kepada komandannya.” (2 Tim 2:4).
Terakhir, doa saya: “Tuhan, saya tidak tahu bagaimana caranya dapat meyakinkan
istri saya… Tuhan sendiri saja deh yang berbicara kepadanya.”
Tiga hari berlalu tanpa adanya peneguhan tentang
pergumulan saya yang terakhir, hingga suatu hari istri saya bercerita bahwa
ketika ia sedang merenungkan Alkitab – bukan mengenai pergumulan yang sedang kami hadapi – tiba-tiba
Tuhan berbicara di dalam hatinya: “Jangan halang-halangi rencana yang telah
Kutetapkan baginya.” Selanjutnya, kami berdua melangkah ke kota Bandung “hanya”
dengan bermodalkan iman bahwa langkah yang kami tempuh adalah kehendak dan
rencana Tuhan, sebab mustahil bagi kami meninggalkan kota Jakarta yang telah
memberikan banyak berkat secara finansial bagi keluarga kami.
Kalau sekarang saya renungkan semua peristiwa yang
telah terjadi dari awal sampai dengan akhirnya, saya harus berkata betapa ajaibnya Tuhan
mengatur segala waktu dan kejadian. Saya sudah terlambat satu bulan saat
mendaftarkan diri di sekolah teologi yang Tuhan tunjukkan, tapi dengan cara-Nya
yang ajaib saya bisa ikutan. Belum lagi ditambah dengan pertolongan Tuhan saat
saya mencari sekolah untuk anak saya masuk SD (masuk di tengah-tengah semester), lalu
mencari rumah kontrakan yang dekat dengan sekolah anak supaya cukup dengan berjalan kaki (edisi pengiritan), kemudian saya harus mengikuti ujian negara
susulan S-1 (karena sebelumnya saya tidak terima surat pemberitahuan) dimana pada saat ujian Tuhan beberapa kali memberi hikmat untuk mengingat materi kuliah yang sudah lewat beberapa tahun lamanya. Semua itu belum lagi ditambah dengan beberapa peristiwa penting lainnya yang juga secara ajaib ditolong oleh Tuhan. Satu atau dua peristiwa yang terjadi mungkin bisa
dikatakan sebagai suatu kebetulan, tetapi kalau semuanya terjadi tepat pada waktunya, maka
dengan yakin saya dapat berkata bahwa ini adalah pekerjaan Tuhan. Terpujilah Tuhan untuk selama-lamanya, haleluyah, amin.
0 Response to "Kesaksian"
Post a Comment