PERSEPULUHAN YANG ALKITABIAH
PERSEPULUHAN MENURUT ALKITAB
Quote 1 = "Memberi persepuluhan tanpa disertai keadilan, kesetiaan dan belas kasihan adalah praktek agamawi yang mengundang kutuk celaka dalam kehidupan"
Quote 2 = "Pemberian yang berharga di mata Tuhan adalah pemberian yang berdasarkan kasih bukan karena perintah"
Quote 2 = "Pemberian yang berharga di mata Tuhan adalah pemberian yang berdasarkan kasih bukan karena perintah"
“Bolehkah
manusia menipu Allah? Namun kamu menipu Aku. Tetapi kamu berkata: "Dengan
cara bagaimanakah kami menipu Engkau?" Mengenai persembahan persepuluhan
dan persembahan khusus! Kamu telah kena kutuk, tetapi kamu masih menipu Aku, ya
kamu seluruh bangsa! Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah
perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku
dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu
tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.Aku
akan menghardik bagimu belalang pelahap, supaya jangan dihabisinya hasil
tanahmu dan supaya jangan pohon anggur di padang tidak berbuah bagimu, firman
TUHAN semesta alam.Maka segala bangsa akan menyebut kamu berbahagia, sebab kamu
ini akan menjadi negeri kesukaan, firman TUHAN semesta alam.”
(Maleakhi 3:8-12)
PENDAHULUAN
Tidak
salah lagi, ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat favorit dari para pendeta yang senang
“mengancam” jemaat agar mereka memberi persepuluhan. Pada umumnya mereka
(pendeta) berkata bahwa siapa saja yang tidak memberikan persepuluhan adalah
para penipu atau maling yang telah merampok uang Allah. Namun yang paling
menggelikan dari semuanya adalah para pendeta yang menyatakan bahwa orang-orang
yang tidak memberikan persepuluhan tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Mereka berpendapat bahwa tidak mungkin seorang pencuri diterima di sana.
Apapun bentuk “ancaman” yang mereka sampaikan, baik berupa sindiran halus, maupun kritikan yang tajam, pada dasarnya mereka semua sepakat: “Bayarlah persepuluhan maka engkau akan diberkati, tolaklah persepuluhan maka engkau akan dikutuk, bukankah ayat-ayat di atas sudah jelas berkata apa?"
Apapun bentuk “ancaman” yang mereka sampaikan, baik berupa sindiran halus, maupun kritikan yang tajam, pada dasarnya mereka semua sepakat: “Bayarlah persepuluhan maka engkau akan diberkati, tolaklah persepuluhan maka engkau akan dikutuk, bukankah ayat-ayat di atas sudah jelas berkata apa?"
Benarkah
orang-orang yang membayar persepuluhan akan diberkati Allah?
Sayang
sekali bahwa Alkitab Perjanjian Baru sama sekali tidak mendukung teori ini.
Yesus berkata: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat
dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan
dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu
abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan.
Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” (Mat
23:23).
Perhatikan
bahwa orang-orang Farisi membayar persepuluhan mereka dengan setia, tetapi apa
yang mereka terima bukanlah berkat dari Allah, melainkan kutuk dari Tuhan
Yesus. Sebaliknya, Tuhan Yesus malah menegaskan tentang 3 bagian terpenting
dalam hukum Taurat (sehubungan dengan masalah pemberian), yaitu: KEADILAN,
BELAS KASIHAN dan KESETIAAN, yang tidak lain adalah
INTI dari makna persepuluhan yang akan kita pelajari di dalam artikel ini,
yakni 3 alasan utama mengapa Allah memerintahkan persepuluhan di dalam
Perjanjian Lama.
Apakah
persepuluhan Alkitabiah?
Ya,
persepuluhan adalah Alkitabiah karena konsep persepuluhan memang tertulis di
dalam Alkitab, tetapi kita harus melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa
persepuluhan bukanlah doktrin atau praktek yang diajarkan di dalam Perjanjian
Baru. Secara singkat dapat dikatakan bahwa persepuluhan adalah milik orang
Israel, sebagaimana yang tertulis di dalam hukum Taurat, bukan milik orang Kristen.
Buktinya di dalam Perjanjian Baru hanya ada 4 ayat yang menuliskan tentang
persepuluhan. Dua ayat menceritakan tentang kecaman Tuhan Yesus terhadap orang
Farisi (Mat 23:23 & Luk 11:42), satu ayat menceritakan tentang ketinggian
hati orang Farisi (Luk 18:12), dan satu ayat lagi menceritakan tentang
persembahan Abraham kepada Melkisedek (Ibrani 7:1-9).
Bukankah Yesus
berkata “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan ditinggalkan”?
Ya,
tetapi kita harus melihat pada konteksnya secara keseluruhan, bukan hanya
mencomot satu-dua bagian perkataan Tuhan Yesus dan kemudian bermain dengan
kata-kata. Pertama, Tuhan Yesus sedang berbicara kepada orang-orang Israel yang tentu saja terikat kepada hukum Taurat untuk selama-lamanya, bukan kepada orang non-Israel atau mereka yang hidup di dalam Perjanjian Baru. Dengan perkataan lain, Tuhan Yesus sedang menegaskan bahwa bagi orang Israel semua perintah dalam hukum Taurat harus dilakukan, jangan ada yang ditinggalkan. Kedua, pada saat itu Tuhan Yesus sedang menjelaskan kepada orang Farisi perihal
makna persepuluhan ditinjau dari sudut pandang hukum Taurat, di mana prinsip
dari hukum Taurat adalah: “Terkutuklah
orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum
Taurat” (Gal 3:10, Ul 27:26), yang kemudian disimpulkan dengan istilah “Melanggar
satu berarti melanggar semua” (Yak 2:10). Dari sini kita dapat melihat bahwa
Tuhan Yesus sama sekali tidak bermaksud untuk menegaskan bahwa konsep
persepuluhan masih tetap berlaku di masa Perjanjian Baru (walaupun juga tidak menolak),
melainkan untuk menjelaskan kepada orang Farisi bahwa memberikan persepuluhan
tetapi melupakan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan, sama artinya (atau bahkan lebih buruk) dengan
tidak memberikan persepuluhan (karena pada dasarnya mereka sudah melanggar hukum Taurat).
Pertanyaan
yang mungkin dapat diajukan bagi kita adalah “Apakah orang-orang Kristen sudah
melakukan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan pada saat mereka memberikan
persepuluhan”? Jikalau belum, maka perkataan Tuhan Yesus kepada orang Farisi
“celakalah kamu…” berlaku pula bagi kita, sebab pada dasarnya kita sama saja dengan
orang Farisi! Percayalah, ketika Tuhan Yesus berkata “celakalah kamu”, Ia tidak
sedang bercanda atau sekedar menakut-nakuti orang Farisi. Celaka ya berarti
celaka, walaupun kita tidak tahu dalam bentuk seperti apa celaka yang dimaksud. Tetapi anehnya,
para pendeta lebih tertarik kepada perkataan “yang satu harus dilakukan” daripada perkataan "yang lain jangan ditinggalkan. Para pendeta
berlaku seolah-olah "yang satu” itu (persepuluhan) lebih penting bagi Tuhan sehingga mereka tidak perlu lagi memperhatikan "yang lain” (keadilan, kesetiaan dan belas kasihan), padahal perkataan celaka Tuhan Yesus lahir karena orang-orang Farisi tidak melakukan keadilan, kesetiaan dan belas kasihan ketika mereka memberikan persepuluhan. Saya sungguh tidak habis mengerti!
Lalu bagaimana
dengan persepuluhan Abraham kepada Melkisedek?
Ada
banyak pendeta yang menegaskan bahwa persepuluhan bukanlah berasal dari hukum
Taurat, melainkan ratusan tahun sebelumnya, yaitu persembahan Abraham kepada
Melkisedek (Kej 14:17-20) yang kemudian diteruskan kepada anak-cucunya yaitu
Yakub (Kej 28:20-22).
Pertanyaannya
adalah: Apakah Abraham akan dianggap berdosa apabila ia tidak memberikan persepuluhan
kepada Melkisedek? Apakah segala hal yang Abraham lakukan di masa sebelum hukum
Taurat adalah kewajiban yang harus kita perbuat di masa Perjanjian Baru? Apakah
Yakub akan dianggap berdosa – dengan tidak memberikan persepuluhan – seandainya
ia tidak pernah bernazar untuk memberikan persepuluhan kepada Tuhan? Perhatikan
bahwa persembahan kedua tokoh Alkitab ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa
mereka wajib memberikan persepuluhan.
Ketika
Abraham berjumpa dengan Melkisedek – yang ditegaskan sebagai tokoh yang lebih
besar daripada Abraham, yaitu seorang raja dan imam di kota Salem (Yerusalem
kuno), yang adalah gambaran dari Tuhan Yesus sebagai raja dan imam (Ibr 7:1-4)
– beliau menyerahkan sepersepuluh dari segala hasil rampasannya setelah ia
mengalahkan raja Kedorlaomer dan raja-raja dari timur (Kel 14:1-20). Dari kisah
ini kita dapat mengambil 3 buah kesimpulan penting:
1. Persepuluhan Abraham bersifat
SUKARELA, karena pada waktu itu hukum Taurat belum diberikan.
2. Persepuluhan Abraham berasal dari
JARAHAN, bukan dari penghasilannya sebagai peternak kambing-domba.
3. Persepuluhan Abraham kepada
Melkisedek adalah SATU-SATUNYA persepuluhan yang diberikan Abraham seumur
hidupnya (setidaknya yang tercatat di dalam Alkitab).
Demikian
pula dengan Yakub. Alkitab menceritakan bahwa hari kematian Ishak sudah dekat
dan Esau berikhtiar untuk membunuh Yakub. Di dalam ketakutannya, Yakub
melarikan diri ke Mesopotamia. Di tengah perjalanan, Yakub bermimpi bahwa Allah
akan memberkati dirinya dan seluruh keturunannya. Oleh sebab itu, bernazarlah
Yakub, jika Allah menyertai, melindungi dan memberkati hidupnya, maka ia akan
memberikan sepersepuluh dari segala sesuatu yang ia terima. Perhatikan bahwa
persembahan Yakub bukanlah suatu kewajiban yang Allah perintahkan kepadanya, melainkan
secara sukarela ia berikan sebagai balasan atas apa yang Tuhan janjikan
kepadanya.
Berdasarkan
kedua keterangan di atas, apakah kita masih mau mempertahankan ide bahwa
persepuluhan adalah perintah yang secara langsung diajarkan di dalam Perjanjian
Baru?
Apakah
Perjanjian Baru menolak konsep persepuluhan?
Tidak!
Tetapi juga tidak mengharuskan! Perhatikan bahwa dasar dari pemberian
persepuluhan Abraham kepada Melkisedek adalah berdasarkan KASIH (secara
sukarela), bukan berdasarkan PERINTAH. Hal inilah yang sesungguhnya ingin
ditegaskan Tuhan Yesus di seluruh Perjanjian Baru, yaitu bahwa kita harus
memberikan seluruh persembahan kita berdasarkan kasih, bukan berdasarkan
kewajiban.
Dengan demikian, kita tidak perlu jatuh kepada salah satu ekstrem (apalagi sampai berdebat di media sosial) mengenai sikap kita terhadap persepuluhan. Ekstrem kiri menegaskan bahwa persepuluhan adalah kewajiban setiap orang Kristen, sementara ekstrem kanan menentang habis-habisan konsep persepuluhan. Berdasarkan uraian singkat yang sudah dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa memberi persepuluhan adalah hal yang baik (asalkan berdasarkan kasih dan menggenapi nilai keadilan, kesetiaan dan belas kasihan), tetapi tidak memberikan persepuluhan bukanlah sebuah dosa (asalkan hatinya tidak terikat dengan uang, yang dibuktikan melalui kerelaan di dalam memberi).
MAKNA PERSEPULUHAN
Salah
satu unsur terpenting di dalam hukum penafsiran Perjanjian Baru adalah: Kita
harus mengetahui rancangan Allah yang semula, berikutnya mempelajari alasan
atau makna di balik perintah-perintah di dalam hukum Taurat, baru setelah itu
kita memberikan penafsiran atas suatu doktrin atau praktek yang tertulis di
dalam Perjanjian Baru. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengetahui latar
belakang mengapa Allah memerintahkan persepuluhan di dalam Perjanjian Lama.
MAKNA
PERSEPULUHAN DI DALAM PERJANJIAN LAMA
Di
dalam Perjanjian Lama, khususnya melalui kitab Bilangan dan Ulangan, kita akan
menemukan bahwa ada 3 macam persepuluhan yang diperintahkan Allah bagi orang
Israel. Rabi-rabi Israel menamakan 3 macam persepuluhan itu dengan sebutan:
Ma’aser Rishon (persepuluhan pertama), Ma’aser Sheni (persepuluhan kedua), dan
Ma’aser Ani.
MA’ASER RISHON
"Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada
mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik
pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah
Pertemuan... Mereka tidak akan mendapat milik pusaka di tengah-tengah orang
Israel, sebab persembahan persepuluhan yang dipersembahkan orang Israel
kepada TUHAN sebagai
persembahan khusus Kuberikan kepada orang Lewi sebagai milik pusakanya;
itulah sebabnya Aku telah berfirman tentang mereka: Mereka tidak akan mendapat
milik pusaka di tengah-tengah orang Israel." TUHAN berfirman kepada Musa:
"Lagi haruslah engkau berbicara kepada orang Lewi dan berkata kepada
mereka: Apabila kamu menerima dari pihak orang Israel persembahan persepuluhan
yang Kuberikan kepadamu dari pihak mereka sebagai milik pusakamu, maka haruslah
kamu mempersembahkan sebagian dari padanya sebagai persembahan khusus kepada
TUHAN, yakni persembahan persepuluhanmu dari persembahan persepuluhan itu,
dan persembahan itu akan diperhitungkan sebagai persembahan khususmu, sama
seperti gandum dari tempat pengirikan dan sama seperti hasil dari tempat
pemerasan anggur. Secara demikian kamupun harus mempersembahkan sebagai
persembahan khusus kepada TUHAN sebagian dari segala persembahan persepuluhan
yang kamu terima dari pihak orang Israel. Dan yang dipersembahkan dari padanya
sebagai persembahan khusus kepada TUHAN haruslah kamu serahkan kepada
imam Harun."
(Bilangan
18:21-28)
Dari
ayat-ayat ini, kita dapat mengambil beberapa point penting yang akan kita
jadikan sebagai bahan perbandingan dengan apa yang dilakukan gereja – yang
mengaku – sebagai penerus bangsa Israel yaitu umat perjanjian:
1. Persepuluhan adalah persembahan
khusus yang diberikan bangsa Israel kepada TUHAN, bukan kepada suku Lewi
(ay 19, 24). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persembahan persepuluhan
adalah milik Tuhan. Oleh sebab itu, suku Lewi sama sekali tidak berhak untuk
menuntut apalagi mengancam bangsa Israel apabila mereka lalai di dalam membayar
persepuluhan.
2. Suku Lewi menerima persembahan
persepuluhan dari Tuhan sebagai upah atas pekerjaan mereka di Kemah Pertemuan
(sebelum menjadi Bait Allah), yaitu sebagai pengganti karena suku Lewi tidak
menerima tanah pusaka sebagaimana kesebelas suku yang lain. Adapun alasan
mengapa mereka tidak menerima tanah pusaka yaitu karena mereka adalah milik
pusaka kepunyaan Tuhan sendiri, yakni pengganti dari seluruh anak sulung bangsa
Israel sehubungan dengan tulah kematian anak sulung di Mesir (Bil 3:11-12).
3. Suku Lewi menerima persembahan
persepuluhan dari bangsa Israel melalui Tuhan dengan perbandingan 1:11.
4. Orang-orang Lewi memberikan persembahan
persepuluhan dari persepuluhan yang mereka terima sebagai persembahan
khusus kepada Tuhan, dan Tuhan memberikan persembahan itu kepada keluarga Harun
(imam-imam).
Sekarang,
mari kita coba terapkan konsep persepuluhan pertama (Ma’aser Rishon) di dalam
gereja. Sebuah catatan penting harus saya tekankan di sini. Apabila gereja
menganggap bahwa konsep persepuluhan – yang berasal dari Perjanjian Lama –
masih tetap berlaku di masa Perjanjian Baru, maka tidak ada alasan bagi kita
untuk tidak mengikuti semua aturan yang tertulis di dalam hukum Taurat mengenai
persembahan persepuluhan (sebab Perjanjian Baru sama sekali tidak mengatur soal
ini).
Pertama,
dengan siapa kita mau membandingkan para pendeta? Dengan suku Lewi atau
imam-imam? Seandainya para pendeta kita mau persamakan dengan orang Lewi, maka
seharusnya mereka tidak boleh melakukan upacara baptisan, atau memberi berkat,
atau bahkan menyelenggarakan ibadah, karena hanya para imamlah yang berhak
melakukan hal-hal tersebut. Sebaliknya, apabila kita menganggap bahwa para
pendeta adalah imam-imam, maka seharusnya mereka tidak menerima persepuluhan
dari jemaat, melainkan sepersepuluh dari total persepuluhan yang diterima suku
Lewi (alias 1%).
Pertanyaan
lanjutannya adalah: Siapakah orang Lewi menurut hukum Taurat? Berdasarkan kitab
Bilangan pasal 4, kita ketahui bahwa tugas bani Kehat adalah mengurus barang-barang maha kudus (ayat 1-20), tugas bani Gerson adalah mengangkat segala perlengkapan
Kemah Suci (ayat 21-28), dan tugas bani Merari adalah mengangkat segala perkakas Kemah Suci
(ayat 29-33). Secara singkat dapat dikatakan bahwa mereka adalah
orang-orang yang bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan
Kemah Suci, yaitu orang-orang yang diperbantukan kepada keluarga Harun
(imam-imam) demi terselenggaranya ibadah orang Israel.
Sekarang
yang menjadi permasalahannya adalah siapakah orang Lewi menurut versi
Perjanjian Baru? Berdasarkan “job description” yang mereka miliki, maka
seharusnya mereka adalah seluruh full timer gereja yang tidak ditahbiskan
menjadi pendeta (imam), yaitu pemain musik, pengangkut sound system, termasuk
tukang sapu ruang ibadah. Seharusnya, merekalah yang berhak menerima
persepuluhan dari jemaat dimana selanjutnya mereka memberikan sepersepuluh dari
pendapatan mereka kepada para pendeta.
Kedua,
persembahan persepuluhan dari persepuluhan orang Israel (1%) yang diberikan
orang Lewi kepada imam-imam harus diberikan secara merata kepada semua anggota
keluarga Harun. Alkitab tidak pernah menyatakan bahwa Harun – sebagai imam
besar – mendapatkan porsi yang lebih besar ketimbang anak-anaknya. Alkitab
hanya menyatakan bahwa persembahan orang Lewi harus diberikan kepada Harun,
yaitu selaku kepala keluarga dari keempat anaknya yang menjadi imam-imam.
Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang gembala sidang mendapatkan porsi
yang lebih besar ketimbang para pendeta lainnya. Lagipula, di dalam Perjanjian
Baru, posisi imam besar adalah milik Tuhan Yesus (Ibr 9:11). Oleh sebab itu,
tidak ada seorang pendeta-pun yang dapat mengaku bahwa ia memiliki keimamatan
yang lebih tinggi daripada pendeta lainnya, bahkan dari jemaat sekalipun.
Ketiga,
sekaligus point terpenting yang harus kita pahami di sini. Makna di balik
perintah Ma’aser Rishon adalah KEADILAN.
Suku Lewi, termasuk keturunan Harun, sama sekali tidak menerima tanah pusaka.
Oleh sebab itu, sebagai gantinya, sangatlah wajar apabila mereka menerima
persembahan persepuluhan dari orang Israel. Tujuannya adalah supaya SEMUA ORANG
DAPAT MAKAN (secara adil). Adakah tujuan seperti ini telah tercapai di dalam
gereja? Mengapa terjadi kesenjangan sosial di antara para pendeta, khususnya
antara gembala sidang dengan seluruh full timer yang bekerja di sana?
MA’ASER SHENI
"Haruslah engkau benar-benar mempersembahkan
sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladangmu, tahun demi
tahun. Di hadapan TUHAN, Allahmu, di tempat yang akan dipilih-Nya untuk membuat
nama-Nya diam di sana, haruslah engkau memakan persembahan persepuluhan dari
gandummu, dari anggurmu dan minyakmu, ataupun dari anak-anak sulung lembu
sapimu dan kambing dombamu, supaya engkau belajar untuk selalu takut akan
TUHAN, Allahmu. Apabila, dalam hal engkau diberkati TUHAN, Allahmu,
jalan itu terlalu jauh bagimu, sehingga engkau tidak dapat mengangkutnya,
karena tempat yang akan dipilih TUHAN untuk menegakkan nama-Nya di sana terlalu
jauh dari tempatmu, maka haruslah engkau menguangkannya dan membawa uang itu
dalam bungkusan dan pergi ke tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, dan
haruslah engkau membelanjakan uang itu untuk segala yang disukai hatimu, untuk
lembu sapi atau kambing domba, untuk anggur atau minuman yang memabukkan, atau
apapun yang diingini hatimu, dan haruslah engkau makan di sana di hadapan
TUHAN, Allahmu dan bersukaria, engkau dan seisi rumahmu. Juga orang
Lewi yang diam di dalam tempatmu janganlah kauabaikan, sebab ia tidak mendapat
bagian milik pusaka bersama-sama engkau."
Sekali
lagi kita diperhadapkan dengan kenyataan bahwa gereja tidak konsekuen di dalam
menerapkan konsep persepuluhan yang Alkitabiah. Sampai dengan hari ini, tidak
pernah sekalipun saya mendengar ada seorang pendeta yang mengajarkan bahwa di
dalam Alkitab terdapat suatu jenis persepuluhan yang boleh dimakan sendiri oleh
pembawanya bersama dengan seisi rumahnya. Saya tidak tahu apakah ada unsur
kesengajaan di sini – maksudnya supaya jemaat tidak mempertanyakan soal ini –
atau mereka memang lupa untuk memberitakannya? Atau bahkan yang paling parah
mereka juga tidak sadar dengan keberadaan ayat ini?
Mungkin
salah satu kekuatiran yang timbul dengan mengajarkan adanya suatu jenis
persepuluhan yang boleh dimakan sendiri adalah kecenderungan manusia yang pada
akhirnya tidak akan memberi sama sekali (dengan alasan persepuluhan untuk dimakan sendiri). Tetapi hal itu bukan urusan gereja,
apalagi sampai menghakimi mereka yang tidak memberikan persepuluhan.
Adapun
makna di balik persepuluhan kedua (Ma’aser Sheni) adalah KESETIAAN. Bangsa Israel diminta untuk membawa persepuluhan
mereka ke Yerusalem (tempat yang kelak dipilih Allah), atau bila terlalu jauh,
mereka harus menguangkan persepuluhan mereka dan membelanjakan uang tersebut di
Yerusalem, sesuka hati mereka, dengan tujuan agar mereka makan di hadapan Tuhan
bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga mereka, yaitu setahun tiga kali
yang dilaksanakan pada 3 hari raya utama orang Yahudi (Ulangan 16:1-17), khususnya hari raya pesta
panen, atau yang lebih dikenal dengan nama hari raya tujuh minggu, yang di
kemudian hari dirayakan oleh orang Kristen sebagai hari raya Pentakosta. Apa
tujuannya? Tujuannya supaya mereka belajar untuk TAKUT AKAN TUHAN, Allah yang
memberkati mereka (ay 23). Apa maksudnya? Maksudnya adalah, mudah sekali bagi
bangsa Israel untuk jatuh ke dalam salah satu bentuk penyembahan berhala dengan
cara menyembah salah satu dewa/dewi kesuburan di tanah Kanaan (mis: Asyera,
Asytoret, Baal, dll). Dengan adanya hari raya pesta panen, yang diiringi
Ma’aser Sheni, bangsa Israel senantiasa diingatkan kepada satu-satunya sumber
berkat yang harus mereka sembah, yaitu YHWH, Allah Penguasa alam semesta.
Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah: Adakah makna kesetiaan dan persekutuan keluarga seperti yang diajarkan oleh Ma’aser Sheni sudah menjadi bagian dari konsep persepuluhan di dalam gereja? Saya yakin jawabannya adalah “tidak”, dan di saat yang sama saya juga tidak terkejut apabila saudara baru pertama kali ini mendengar bahwa ada jenis persepuluhan yang boleh dimakan sendiri pada saat hari raya.
Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah: Adakah makna kesetiaan dan persekutuan keluarga seperti yang diajarkan oleh Ma’aser Sheni sudah menjadi bagian dari konsep persepuluhan di dalam gereja? Saya yakin jawabannya adalah “tidak”, dan di saat yang sama saya juga tidak terkejut apabila saudara baru pertama kali ini mendengar bahwa ada jenis persepuluhan yang boleh dimakan sendiri pada saat hari raya.
MA’ASER ANI
"Pada akhir tiga tahun engkau harus mengeluarkan
segala persembahan persepuluhan dari hasil tanahmu dalam tahun itu dan
menaruhnya di dalam kotamu (Sha’ar = pintu gerbang); maka orang
Lewi, karena ia tidak mendapat bagian milik pusaka bersama-sama engkau, dan orang asing, anak yatim dan janda yang
di dalam tempatmu, akan datang makan dan menjadi kenyang, supaya TUHAN,
Allahmu, memberkati engkau di dalam segala usaha yang dikerjakan tanganmu."
(Ulangan
14:28-29)
Kaum Miskin |
Pernahkah
saudara menemukan ayat-ayat di dalam Perjanjian Lama yang mengajarkan tentang
adanya persembahan bagi orang-orang miskin atau yang lebih dikenal di gereja dengan
istilah diakonia? Saya yakin jawabannya tidak, kenapa? Karena
memang tidak ada persembahan seperti itu di dalam konteks PL kuno. Orang-orang miskin, yaitu
janda-janda, anak-anak yatim, dan bahkan orang asing, pertama-tama mendapat bagian mereka
dari hasil penuaian yang terbuang (umpamanya buah yang jatuh dari pohon, Im 19:10). Selanjutnya mereka mendapat bagian dari tepian ladang yang tidak boleh dituai oleh pemiliknya, kemudian ditambah dengan tuaian yang
ketinggalan (Im 19:9), dan terakhir mereka mendapat bagian dari Ma’aser Ani yang dilakukan setiap tahun
ketiga dan keenam dalam satu periode tahun sabat (7 tahun).
Jadi,
berdasarkan keterangan ini, jelaslah bahwa salah satu fungsi dari persepuluhan
di dalam PL adalah menyatakan BELAS
KASIHAN, yaitu agar orang-orang miskin dan orang-orang asing tidak
harus mati kelaparan, karena mereka tahu kemana mereka harus pergi untuk
mendapatkan makanan, yaitu pintu gerbang kota (Sha’ar = Pintu Gerbang, KJV =
Gates), dimana orang-orang lewi bertugas untuk mengatur pembagiannya dan turut menikmatinya. Bukankah seharusnya keadaan seperti ini merupakan prototipe atau gambaran dari keberadaan gereja? Orang-orang miskin yang kelaparan seharusnya pergi ke gereja dan mendapatkan makanan di sana. Bukankah ayat Maleakhi 3 sudah menjelaskan tentang tujuan persepuluhan, yaitu SUPAYA ADA PERSEDIAAN MAKANAN di rumah-Ku? Bagian ayat ini sering dikutip dalam khotbah dengan tujuan agar jemaat mau memberikan persepuluhan, tetapi sayangnya tujuan ayat ini tidak/jarang dipraktekkan dalam kenyataannya.
Dengan demikian sekarang saudara sudah dapat memahami konteks kecaman atau kutukan Tuhan Yesus kepada orang-orang Farisi yang rajin dan taat memberikan persepuluhan. Di dalam pandangan Tuhan, bukan sekedar memberi persepuluhannya yang penting, tetapi apa yang ada di dalam hati mereka (atau kehidupan mereka sehari-hari) ketika mereka memberikan persepuluhan tersebut. Percuma mereka memberikan persepuluhan tetapi di saat yang sama hati mereka tidak memiliki nilai keadilan, kesetiaan dan belas kasihan terhadap Tuhan dan sesama. Kebenaran ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh rasul Paulus di dalam 1 Korintus 13:3 yang berkata: "Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku."
Kemana semua persepuluhan
itu dibawa?
Bait Allah Herodes |
Bait Roh Kudus |
Kalau
begitu kemana bangsa Israel membawa persepuluhan mereka? Tergantung jenis
persepuluhannya. Pertama, mereka membawa Ma’aser Rishon ke kota-kota orang Lewi
yang tersebar di seluruh penjuru negeri Israel (Bil 35:1-8, Yos 21:1-42).
Kedua, mereka membawa Ma’aser Sheni ke kota Yerusalem untuk dimakan
bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga – beserta orang Lewi – di dalam
perayaan-perayaan orang Yahudi, khususnya perayaan pesta panen (Ul 14:24-25).
Ketiga, mereka membawa Ma’aser Ani ke pintu gerbang kota masing-masing supaya
janda-janda, anak yatim dan orang asing dapat makan dan menjadi kenyang (Ul
14:28).
Konteks
Maleakhi 3
Seperti
sudah dijelaskan sebelumnya, Maleakhi 3, khususnya ayat 6-12, adalah ayat-ayat
yang banyak dipergunakan para pendeta sebagai dasar untuk menyerukan
persepuluhan. Tetapi hingga detik ini, jarang sekali ada pendeta yang mau menjelaskan
sampai ke akar-akarnya bahwa konteks sejarah kitab Maleakhi adalah saat di mana
bangsa Israel baru saja kembali dari masa pembuangan di Babel dan mereka masih
saja hidup dengan cara yang sama sebagaimana nenek moyang mereka berdosa
terhadap Allah (Maleakhi 1 s/d 4). Allah marah karena mereka membiarkan orang-orang
Lewi lari ke ladang (bekerja) untuk penghidupan mereka (Neh 13:10-13). Dengan
perkataan lain, mereka sudah menindas dan mengambil jatah yang seharusnya
adalah milik orang Lewi, janda-janda, anak yatim, dan orang asing (Mal 3:4-5).
Bagaimana
dengan kondisi gereja pada hari ini? Apabila gereja mau tetap mempertahankan konsep tentang persembahan persepuluhan (yang berasal dari Perjanjian Lama), maka ketentuan yang sama masih
tetap berlaku bagi mereka. Persepuluhan adalah milik orang Lewi (Ma’aser
Rishon), seluruh anggota keluarga (Ma’aser Sheni), serta janda-janda, anak
yatim dan orang asing (Ma’aser Ani). Apabila uang hasil persepuluhan diambil para
pendeta (imam-imam), khususnya gembala sidang, atau bahkan uang tersebut dipergunakan
untuk membeli gedung gereja (beserta fasilitasnya) dan peralatan sound system, maka penyelewengan yang
dilakukan gereja pada hari ini adalah penyelewengan yang sama yang telah
dilakukan bangsa Israel pada masa nabi Maleakhi. Merekalah (pendeta) yang
sesungguhnya pantas disebut sebagai penipu atau maling, kenapa? Pertama, mereka
mengambil jatah yang sesungguhnya bukan milik mereka (maling). Kedua, mereka
selalu menyerukan tentang persepuluhan dengan alasan agar tersedia makanan di
rumah Tuhan, tetapi mereka malah mempergunakannya untuk kepentingan pribadi atau bahkan membeli properti gereja.
Apa namanya kalau bukan penipuan?
Hati Allah di
balik perintah persepuluhan
Sudah
jelas kiranya mengapa Allah memerintahkan persepuluhan di dalam PL. Pertama,
supaya terjadi KEADILAN diantara bangsa Isarel, yaitu: Sebelas suku Israel
mendapat tanah pusaka, dan suku Lewi menerima sepersepuluh dari masing-masing
suku tersebut. Kemudian orang Lewi memberikan sepersepuluh dari persepuluhan
itu kepada imam-imam. Kedua, supaya bangsa Israel belajar SETIA kepada YHWH,
Allah yang memberkati panen mereka. Ketiga, menyatakan BELAS KASIHAN kepada
mereka yang kekurangan. Bukankah ketiga spirit ini yang dikemukakan oleh Tuhan Yesus ketika Ia mengutuk orang-orang Farisi yang taat memberikan persepuluhan (Mat 23:23)? Bukankah ketiga model persepuluhan ini sejalan dengan
perintah yang terutama di dalam Perjanjian Lama yang berkata “Kasihilah TUHAN Allahmu dengan segenap hatimu, jiwamu, akal budimu, dan dengan segenap
kekuatanmu” dan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”?
PERSEPULUHAN DALAM PERJANJIAN BARU
Prinsip
dasar yang tidak pernah berubah di dalam menafsirkan Perjanjian Baru adalah:
Perjanjian Lama sudah digenapi oleh Yesus Kristus (Mat 5:17) dan kita sebagai orang
percaya turut menggenapinya bersama Kristus (Roma 3:31). Prinsip dasarnya
tertulis di dalam Efesus 2:15 dan Ibrani 8:7-12 yang dikutip dari kitab Yeremia
31:31-34.
Ketika
bangsa Israel keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan, Allah memberikan sebuah perjanjian
yang disampaikan melalui hamba-Nya, nabi Musa, yang dimeteraikan dengan darah
anak lembu dan domba jantan (Ibrani 9:19-20, Kel 24:6-8), tetapi bangsa Israel
tidak setia terhadap perjanjian itu. Namun demikian, Allah tetap setia terhadap
perjanjian-Nya. Oleh sebab itu, Ia mengutus Anak-Nya di dalam daging untuk
menggenapi seluruh kebenaran hukum Taurat.
Dengan
tergenapinya perjanjian yang pertama melalui kehidupan dan pengorbanan Anak-Nya
– prinsip kebenaran menurut Taurat adalah: Hukum Taurat harus dilakukan
sepenuhnya tanpa kesalahan sedikitpun (Yak 2:10), dan Tidak ada pengampunan
tanpa penumpahan darah (Ibr 9:22, Im 17:11), maka Allah telah melakukan
bagian-Nya di dalam menggenapi perjanjian yang pertama. Bersamaan dengan itu,
Ia mengadakan suatu perjanjian yang baru melalui Anak-Nya, Tuhan Yesus, yang
dimeteraikan dengan darah-Nya sendiri.
Alkitab
menyatakan – berdasarkan perjanjian yang kedua – bahwa Allah akan menaruh
hukum-hukum-Nya, yaitu melalui Roh Kudus, di dalam hati dan akal budi setiap
orang yang percaya kepada-Nya (Ibr 8:10, 2 Kor 3:1-11). Dengan demikian,
perjanjian yang pertama dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, karena semua orang
yang hidup di dalam Kristus adalah orang-orang yang terhisap ke dalam
perjanjian yang baru (Ibr 8:13, Ef 2:15), yaitu orang-orang yang dianggap sudah menggenapi perjanjian yang lama bersama-sama dengan Kristus.
Apa perbedaan
antara PL dan PB sehubungan dengan doktrin Persepuluhan?
Perjanjian
Baru secara implisit (tersirat) menyatakan bahwa tidak ada lagi bangunan Bait
Allah, tidak ada lagi kaum Lewi, dan tidak ada lagi pembagian kasta antara
orang awam dengan imam-imam. Sebaliknya, Alkitab PB secara eksplisit (tersurat) menyatakan
bahwa semua orang percaya adalah Bait Allah, yaitu tempat kediaman Roh Allah,
dan semua orang percaya adalah imam-imam Perjanjian Baru (Wahyu 5:9-10, 1 Pet 2:9). Oleh sebab itu, tidak dibutuhkan lagi adanya praktek
persepuluhan – terutama Ma’aser Rishon – karena tidak ada lagi bangunan Bait
Allah, dimana secara tidak langsung tidak dibutuhkan lagi adanya kaum Lewi dan
imam-imam yang melayani di tempat itu.
Mengapa Allah
meniadakan persepuluhan di dalam Perjanjian Baru?
Bukan
meniadakan, melainkan mengubah konsepnya secara keseluruhan. Di dalam PL, 10%
adalah milik Allah, tetapi di dalam PB, 100% uang kita adalah kepunyaan Allah,
bahkan secara tegas dapat dikatakan bahwa keseluruhan hidup kita adalah milik
Allah. Ketika kita percaya dan dibaptis, kita menyatakan diri bahwa manusia
lama kita telah MATI bersama Kristus dan BANGKIT bersama Kristus. Adakah orang
mati memiliki harta dan keinginan? Oleh
sebab itu, tanggung jawab kita di dalam pemakaian berkat Allah (uang) jauh
lebih berat ketimbang saudara-saudara kita di dalam PL. Apabila memberikan sepersepuluh saja dari berkat Tuhan sudah menjadi sumber konflik atau pertentangan di dalam hati orang percaya (ditandai ketidak-relaan), maka yang menjadi pertanyaannya ialah apakah kita orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dan sesama? Jangan-jangan konflik atau pertentangan itu menunjukkan bahwa Tuan dalam hidup kita sesungguhnya adalah UANG (mamon) atau DIRI kita sendiri?
Doktrin
persepuluhan sama sekali tidak relevan dengan Perjanjian Baru
Misalkan,
Bpk. A memiliki penghasilan 3 juta rupiah per bulan. Maka persepuluhan yang
harus Bpk. A berikan adalah 300 ribu rupiah dan sisanya 2,7 juta dipergunakan
untuk kehidupan sehari-hari, wajar bukan? Tetapi bagaimana dengan Bpk. B yang
memiliki penghasilan 100 juta rupiah per bulan? Coba kita hitung, 10 juta
rupiah untuk persepuluhan dan 90 juta untuk kehidupan pribadi, wajarkah menurut
saudara? Masih dapatkah kita berkata bahwa Bpk. B mengasihi Allah dan
sesamanya? Sekarang bayangkan bagaimana nasib orang-orang kecil yang memiliki
penghasilan kurang dari 1 juta rupiah per bulan, masihkan Injil dapat dikatakan
sebagai kabar baik apabila mereka masih tetap harus menyisihkan 100 ribu untuk
gereja? Saya kira jawabannya sama sekali TIDAK, karena tidak mungkin berita
Injil mengoyakkan hati nurani manusia, sebab dasar dari PB adalah KASIH, bukan
lagi PERINTAH.
Kembali kepada
kehendak Allah yang semula
Sama
halnya dengan konsep perceraian dimana pada mulanya Allah tidak mengijinkan
perceraian, namun karena kedegilan hati manusia, Allah mengijinkan perceraian
berdasarkan hukum Taurat, tetapi pada akhirnya Tuhan Yesus mengembalikan konsep
tersebut kepada kehendak Allah yang semula, yaitu tidak boleh bercerai (Mat
19:3-9), maka demikian pula dengan konsep persembahan. Pada mulanya Allah
menghendaki persembahan berdasarkan kasih – seperti persembahan Abraham dan
Yakub – namun karena ketamakan hati manusia, Allah memerintahkan persembahan
(termasuk persepuluhan) berdasarkan hukum Taurat, tetapi kini Tuhan Yesus telah
mengembalikan konsep pemberian kepada hukum yang semula, yaitu hukum Kasih (kepada Tuhan dan sesama), dimana dalam hal persepuluhan dijabarkan dengan istilah: Keadilan, Belas Kasihan dan Kesetiaan, yang
ditandai dengan adanya kerelaan hati dan sukacita (2 Kor 9:7).
Dimana letak
kesalahan gereja?
Letak
kesalahan gereja adalah ketika gereja, yang adalah organisme, berubah menjadi
organisasi. Gereja adalah jemaat (Ekklesia), yaitu orang-orang yang dipanggil
keluar untuk suatu pertemuan. Bukan suatu tempat, bukan suatu institusi,
apalagi gedung pertemuan. Mungkin ada baiknya apabila kita mengganti kosa kata
bahasa Indonesia “gereja” menjadi “jemaat” sehingga konotasi kita tidak salah
sejak semula mendengarnya. Untuk lebih jelasnya silahkan saudara membaca artikel tentang "Makna Gereja" yang terdapat di halaman ini: https://beritahidupbaru.blogspot.com/2019/03/makna-gereja.html
Ketika gereja berubah menjadi suatu institusi atau tempat ibadah, maka secara tidak sadar kita telah kembali kepada pola Perjanjian Lama dengan Bait Allah dan struktur organisasinya. Kita kembali kepada pola “Imam dan Awam” dengan mentahbiskan pendeta-pendeta atau pastur-pastur yang secara tidak langsung membuat sebuah kasta baru di dalam Perjanjian Baru dimana orang-orang awam tidak boleh membaptis, mengucapkan berkat, atau melakukan tugas-tugas keimamatan lainnya, padahal Alkitab mengajarkan bahwa setiap orang percaya adalah imam-imam Perjanjian Baru.
Dengan
berdirinya "bait Allah – bait Allah" yang baru (baca: gereja), maka secara
otomatis diperlukan pula orang-orang yang bertugas sebagai imam. Tentu saja hal
ini mengakibatkan timbulnya kebutuhan akan penghidupan dari imam-imam yang
bekerja secara full time di gereja tersebut. Maka tidak perlu heran apabila
jalan keluarnya adalah persepuluhan sebagaimana gereja kembali ke pola
institusi dan keimamatan, yaitu pola Perjanjian Lama.
Kapan gereja
kembali kepada pola persepuluhan?
Ada sebuah sumber yang menyebutkan bahwa Cyprian pada abad ke-3 mulai memperkenalkan konsep
persepuluhan untuk menyokong kehidupan para penginjil, tetapi konsep ini sama
sekali tidak populer karena gereja pada waktu itu masih berbentuk gereja rumah.
Namun perubahan besar terjadi ketika kaisar Konstantin bertobat pada abad ke-4
dan segera gelombang kristenisasi melanda seluruh eropa. Hasilnya,
gedung-gedung gereja mulai didirikan. Imam-imam diangkat dan ditahbiskan. Dan
akhirnya, lahirlah institusi gereja, yang kemudian menjelaskan asal-muasalnya
gaji kependetaan, yaitu diambil dari persembahan-persembahan jemaat, termasuk
persepuluhan. Baru pada akhir tahun 800-an, persembahan persepuluhan menjadi
semacam kewajiban yang harus dibayarkan oleh jemaat.
Benarkah sumber sejarah di atas? Saya sendiri tidak yakin 100% akan kebenarannya. Namun ada satu hal yang jauh lebih penting ketimbang menelusuri sejarah tentang persepuluhan, yaitu memahami perkataan rasul Paulus sehubungan
dengan sumber penghidupan bagi para pendeta: “Sebab kami tidak sama dengan banyak
orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya
dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni
atas perintah Allah dan di hadapan-Nya.” (2 Kor 2:17).
Salahkah
menerima persembahan (termasuk “persepuluhan”) dari jemaat?
Tentu
saja tidak, sebab rasul Paulus yang menyerukan agar kita semua tidak mencari
keuntungan dari firman Allah, adalah orang yang sama yang menyebutkan, “Tidak
tahukah kamu, bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus mendapat
penghidupannya dari tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani mezbah,
mendapat bahagian mereka dari mezbah itu? Demikian pula Tuhan telah menetapkan,
bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu.”
(1 Kor 9:13-14).
Kesalahannya
bukan terletak pada boleh atau tidaknya hidup dari pelayanan, yaitu menerima
persembahan dari jemaat (sering disebut PK), melainkan pada “kewajiban
memberi persembahan” (apalagi bila disertai dengan ancaman kutuk atau neraka), yaitu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup para
full timernya. Jangan lupa bahwa rasul Paulus, walaupun berhak menerima
persembahan dari jemaat – berdasarkan prinsip 1 Kor 9:11 – tidak mengambil
persembahan tersebut, melainkan memberikan teladan bagi hamba-hamba Tuhan
lainnya dengan cara bekerja membuat tenda (Kis 18:3). Namun demikian, ada pula
saatnya dimana rasul Paulus menerima persembahan dari jemaat sebagai bekalnya
untuk memberitakan Injil (Fil 4:15-18). Jadi, dengan perkataan lain, bukan soal
menerima persembahan yang salah, melainkan kuk memberi persembahan yang kita taruh kepada jemaat yang salah (saya katakan ini sebagai sesama pendeta).
KESIMPULAN
Memberi
dengan sukacita dan kerelaan hati adalah salah satu tanda dari kedewasaan
rohani, yaitu bukti adanya buah roh Kasih. Tentunya pemberian ini harus diukur
berdasarkan motivasi di balik pemberiannya, bukan hanya sekedar adanya perasaan
sukacita dan kerelaan hati. Motivasi yang paling benar adalah kasih kepada
Allah, yaitu kesadaran bahwa Allah telah terlebih dahulu menyatakan kasihnya
kepada kita. Tidak ada motivasi lain yang lebih tinggi nilainya daripada kasih.
Rasul Paulus pernah menekankan bahwa dari ketiga hal ini, yaitu: iman,
pengharapan dan kasih, yang terbesar diantaranya ialah kasih (1 Kor 9:13).
Kebenaran ini sejalan dengan pengajaran Tuhan Yesus perihal hukum yang
terutama: Kasihilah Tuhan Allahmu dan Kasihilah sesamamu manusia.
Standar
inilah yang kemudian harus kita terapkan di dalam pelayanan kita (tertuju untuk
para pendeta termasuk saya sendiri) yaitu bagaimana kita menyatakan kasih Allah
kepada jemaat. Tujuannya tidak lain supaya mereka mengenal kasih Allah yang
sesungguhnya, dan sebagai bonusnya (bukan tujuan utama) kita akan mendapatkan
kasih dari mereka, khususnya dalam hal persembahan apabila nyata bahwa
kehidupan kita memang bergantung dari pelayanan.
Jadi,
apabila saudara bertanya kepada saya, bagaimana caranya agar para pendeta dapat
mencukupi kebutuhan hidupnya, maka saya akan menjawab saudara: “Dewasakanlah kerohanian jemaat, sebab ketika
mereka menjadi dewasa secara rohani, maka secara otomatis mereka akan memberi
(sesuai dengan kebutuhan pendetanya). Bukan untuk menjadikan pendeta mereka
kaya raya (yang pada akhirnya telah melenceng dari tujuannya yang semula),
melainkan agar prinsip Keadilan, Kesetiaan dan Belas Kasihan dapat dinyatakan
diantara tubuh Kristus”, amin.
0 Response to "PERSEPULUHAN YANG ALKITABIAH"
Post a Comment