MAKNA PELAYANAN
APAKAH PELAYANAN HARUS DI GEREJA?
Quote 1 = “Dasar pelayanan kita adalah kasih Allah
melalui pengorbanan Anak-Nya”
Quote 2 = “Motivasi pelayanan yang benar akan
menghasilkan kepuasan batin bagi pelakunya bukan keterpaksaan, kejenuhan
apalagi tekanan batin”
Quote 3 = “Dalam pelayanan, fungsi harus mendahului
jabatan, bukan jabatan yang menentukan fungsi”
Quote 4 = “Tujuan sebuah pelayanan adalah orang
lain merasakan kasih”
(Matius 25:31-46)
PENDAHULUANKalau kita melihat kepada latar belakang dari ayat-ayat yang sudah kita baca, maka kita akan menemukan bahwa ayat-ayat ini adalah ayat-ayat penutup dari khotbat Tuhan Yesus mengenai akhir jaman. Adapun khotbah tersebut dimulai dari pasal 24 yang menubuatkan tentang “Bait Allah akan diruntuhkan” sampai kepada pasal 25 yang diakhiri dengan peringatan mengenai “Penghakiman Terakhir.” Diantaranya kita akan menemukan pengajaran Tuhan Yesus mengenai “Permulaan Penderitaan”, “Siksaan yang Berat dan Mesias-mesias Palsu”, “Kedatangan Anak Manusia, Perumpamaan tentang Pohon Ara”, “Nasehat untuk Berjaga-jaga”, “Perumpamaan tentang Hamba yang Setia dan yang Jahat”, “Gadis-gadis yang Bijaksana dan Gadis-gadis yang Bodoh”, dan terakhir “Perumpamaan tentang Talenta.”
Menarik
untuk diperhatikan bahwa sebelum Tuhan Yesus menutup khotbahnya dengan pengajaran
tentang penghakiman terakhir, Ia memberikan tiga buah perumpamaan yang
mengawali proses penghakiman itu. Ketiga perumpamaan yang dimaksud adalah
perumpamaan tentang hamba yang setia dan hamba yang jahat, perumpamaan tentang
gadis yang bijaksana dan gadis yang bodoh, dan yang terakhir perumpamaan
tentang talenta.
Apa
maksud dari ketiga perumpamaan tersebut? Apabila dikembangkan lebih lanjut,
maka tentu saja masing-masing dari ketiga perumpamaan ini akan menjadi tiga
buah khotbah yang tidak kalah panjangnya dari khotbah tentang makna pelayanan
ini. Oleh sebab itu, saya hanya akan menyampaikan intisarinya saja:
1. Perumpamaan tentang hamba yang
setia dan hamba yang jahat Ini berbicara tentang kesetiaan di dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan
kepada kita (ayat 46). Artinya, kepada kita masing-masing telah diberikan
sebuah tugas yang harus kita kerjakan dengan setia sampai pada saat kedatangan
Tuan kita. Point utama yang saya mau sampaikan adalah apakah kita sudah
menemukan tugas dan panggilan kita masing-masing? Kesetiaan seperti apa yang
dapat kita berikan sementara tugas yang harus kita kerjakan belum kita ketahui
dengan pasti? Jadi intisari dari perumpamaan ini adalah: Hendaklah kita mencari
tahu tugas dan panggilan kita masing-masing dan kemudian lakukanlah tugas itu
dengan setia.
2. Perumpamaan tentang gadis-gadis
yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh à
Ada banyak penafsiran dan ada banyak khotbah yang pernah saya dengar
berdasarkan perumpamaan ini. Tetapi inti dari semuanya selalu berbicara tentang
minyak. Apa itu minyak? Sepanjang penelusuran Alkitab yang saya lakukan, saya
mendapati bahwa minyak selalu berbicara tentang pengurapan dan pengurapan
selalu berbicara tentang kemampuan yang Allah berikan. Artinya, perumpamaan ini
mengajarkan kepada kita: Apabila kita ingin menyelesaikan semua tugas yang
dipercayakan kepada kita (termasuk tugas pelayanan) sampai pada akhirnya, yaitu
kedatangan Sang Mempelai, maka kita harus memiliki pengurapan. Darimana
datangnya pengurapan? Urapan datangnya hanya dari Allah, maka mendekatlah
kepada Allah. Jadi intisari dari perumpamaan ini adalah: Dekatkanlah diri kita
kepada Allah supaya pengurapan yang dari Allah memampukan kita untuk
menyelesaikan segala sesuatu sampai pada akhirnya, termasuk tugas pelayanan
kita.
3. Perumpamaan tentang talenta à Ini
berbicara tentang segala hal yang Allah percayakan kepada kita, terutama dalam
hal keuangan. Untuk apa? Untuk melaksanakan tugas. Apabila seorang direktur
memberikan suatu perintah kepada salah seorang managernya untuk melaksanakan
tugas ke luar kota, maka sekurang-kurangnya ia akan memberikan tiket
perjalanan, sarana akomodasi dan segala keperluan lainnya yang dibutuhkan agar
tugas yang dipercayakan dapat terlaksana dengan baik. Demikian pula dengan
Allah kita. Apabila Ia memberikan sebuah tugas, maka Ia akan memberikan segala
perlengkapan yang kita butuhkan agar kita dapat melaksanakan tugas tersebut.
Perlengkapan yang dimaksud adalah talenta yang Allah berikan. Tugas kita adalah
menemukan perlengkapan (talenta) itu dan mempergunakannya sesuai dengan
kapasitas yang Allah berikan. Jadi, intisari dari perumpamaan ini adalah: Temukanlah
talenta yang Allah berikan dan pergunakanlah untuk melaksanakan tugas yang
telah Allah percayakan kepada kita.
Apabila
kita membaca ketiga perumpamaan tersebut dengan seksama, maka kita akan
menemukan bahwa perumpamaan-perumpamaan itu diakhiri dengan ancaman yang tidak
main-main: Dilemparkan ke tempat di
mana terdapat ratapan dan kertakan gigi atau tidak diperkenankan masuk
ke ruang perjamuan kawin. Terlepas dari perdebatan (doktrin) apakah keselamatan
bisa hilang atau tidak, yang pasti ancaman ini mengindetifikasikan adanya
keseriusan dari pihak Allah bagi mereka yang tidak melakukan tugas pelayanan.
Apakah gereja sudah mengajarkan kebenaran ini se-serius peringatan yang Allah berikan?
Apabila
kita sudah sampai kepada pengertian yang saya maksud di atas, maka pertanyaan
lanjutannya adalah: Apakah yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita harus
menjadi Pendeta? Penginjil? Penatua? Majelis? Pemain musik? Pemimpin pujian?
Penyanyi? Usher? Kolektan? Atau sederet pelayanan gerejawi lainnya? Inilah yang
saya sebut sebagai kesalahan orang Kristen yang kedua, yaitu kesalahan di dalam
memaknai pelayanan. Berapa banyak anggota jemaat yang merasa tertuduh karena
mereka merasa dirinya tidak berguna bagi Kerajaan Allah hanya karena mereka
tidak melayani di gereja? Hey… ijinkan saya memberitahukan kepada saudara bahwa
pelayanan yang dimaksud di dalam Alkitab tidak pernah dibatasi oleh apa yang
namanya tembok gereja. Pelayanan-pelayanan gerejawi yang saya sebutkan diatas
hanyalah sebagian kecil (benar-benar kecil) dari jumlah pelayanan yang
sesungguhnya. Alkitab berkata bahwa barangsiapa memberikan secangkir air sejuk
saja, ia tidak akan kehilangan upahnya. Ini sudah termasuk pelayanan (lho,
bagaimana bisa…?).
Sekali
lagi paradigma kita tentang pelayanan sudah salah sejak dari mulanya. Untuk
itu, marilah kita kembali kepada teks Alkitab kita yaitu Matius 25:31-46 dan
mempelajari beberapa kebenaran penting mengenai pelayanan.
DASAR PELAYANAN
Dan Raja itu
akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang
kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu
telah melakukannya untuk Aku
(Mat 25:40)
Pada
ayat ke-40, kita dapat menemukan sebuah kalimat menarik yang diucapkan sang
Raja yang menjadi hakim pada hari pengadilan terakhir: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Dari perkataan sang Raja ini, saya mendapatkan dua kebenaran yang indah.
Pertama,
di sini dikatakan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain, itu
sama artinya dengan kita melakukannya untuk Tuhan. Apalagi artinya hal ini
selain pelayanan. Bukankah segala sesuatu yang kita lakukan untuk Tuhan dapat
kita sebut sebagai pelayanan? Jadi pelayanan yang sesungguhnya tidaklah seperti
apa yang kita bayangkan selama ini yaitu pelayanan yang terbatas di dalam
tembok gereja, melainkan segala sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain,
termasuk pelayanan gerejawi tentunya.
Kedua,
Yesus dengan sengaja mempergunakan istilah “orang hina” untuk menunjukkan
bagaimana seharusnya dasar dari sebuah pelayanan yang dianggap berarti. Bahasa
Yunani yang dipakai di sini adalah “Elachistos” yang menurut kamus bahasa
Yunani-Inggris adalah “Smallest Least, in rank, in amount, in importance, in
authorithy, in rank” yang artinya menunjuk kepada orang yang tidak memiliki
apa-apa, baik dalam hal pendidikan, ekonomi, martabat, kedudukan, dan status
sosial. Intinya mereka adalah orang-orang yang terbuang dan tidak dianggap
kehadirannya di dunia ini. Jadi, secara tidak langsung Yesus sedang mengajarkan
kepada kita bahwa dasar dari sebuah pelayanan seharusnya adalah KASIH!
Apabila kita rela memberikan waktu, perhatian, pertolongan, bantuan, atau
bentuk apapun yang merupakan pernyataan kasih kita kepada mereka yang dianggap hina di dunia, maka apalagi dasar yang mendorong kita untuk melakukannya,
selain daripada kasih?
Pertanyaannya
sekarang adalah kasih yang seperti apa yang seharusnya menjadi dasar pelayanan
kita? Untuk itu, saya akan mengajak saudara berpikir dan menjawab satu
pertanyaan menarik berikut ini: Mengapa Allah mengijinkan manusia jatuh ke
dalam dosa? Sebagian besar orang Kristen akan menjawab “karena kehendak bebas
manusia yang memilih untuk tidak taat kepada Allah”. Jawaban ini tidak salah,
namun baru separuh benar. Jawaban ini masih bisa disanggah dengan pertanyaan
yang lain, “bukankah Allah di dalam kemaha-tahuan-Nya sudah mengetahui bahwa
manusia dengan kehendak bebasnya akan memilih untuk tidak taat?” Oleh sebab
itu, dibutuhkan jawaban yang kedua untuk melengkapi jawaban yang pertama.
Tolong berikan pendapat saudara mengenai dua pilihan berikut ini: Manakah
kondisi yang lebih buruk menurut pendapat saudara? A. Manusia jatuh ke dalam
dosa, atau B. Manusia tidak pernah mengenal apa yang namanya kasih?
Jika
jawaban saudara adalah point B, maka jawaban itulah yang saya maksudkan sebagai
jawaban kedua dari pertanyaan di atas. Ijinkan saya menjelaskannya. Apabila
manusia tidak pernah jatuh ke dalam dosa, maka untuk selamanya manusia tidak akan
pernah mengenal apa yang namanya kasih (sebab selamanya mereka hidup dalam
kasih). Itulah alasan utama mengapa Allah menginjinkan manusia jatuh ke dalam
dosa, yaitu supaya suatu hari nanti, Allah dapat menyatakan kasih-Nya melalui
pengorbanan Anak-Nya (Yoh 3:16), sehingga manusia dapat mengenal apa itu kasih.
Akan tetapi, Allah tidak dapat dipersalahkan atas kejatuhan manusia, sebab
biar-bagaimanapun juga, kehendak bebas manusia-lah yang memilih untuk tidak
taat.
Jadi
inilah KASIH itu, yaitu bahwa Allah telah mengasihi kita. Dia rela mengorbankan
Anak-Nya yang tunggal untuk menebus dosa kita. Dan setelah Ia menyatakan
kasih-Nya, Ia memberikan sebuah perintah baru yang jarang disadari banyak orang
Kristen. Perintah baru itu berkata, “Aku memberikan
perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu
demikian pula kamu harus saling mengasihi.”
Menurut
pernyataan Tuhan Yesus, inti dari Perjanjian Lama dapat dirangkum dalam dua hukum
ini: 1. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan
dengan segenap kekuatanmu, dan 2. Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Mrk 12:30-31). Namun, setelah Allah menyatakan
kasih-Nya melalui pengorbanan Anak-Nya, rupanya standar dari hukum yang kedua
telah ditingkatkan. Hukum yang semula berkata “kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri” telah digantikan dengan hukum yang berkata “sama seperti
Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yohanes
13:34). Standar yang diminta Allah bukan lagi
standar manusia, melainkan standarnya Allah.
Bagaimana
mungkin kita dapat melakukannya? Bahkan ketika standarnya belum dinaikkan
sekalipun, kita tidak dapat melakukannya, apalagi sekarang setelah standarnya
ditingkatkan? Jawabannya: Tidak dengan kekuatan sendiri, tetapi dengan kasih
yang sudah Allah nyatakan di dalam diri kita (yaitu Kristus yang tinggal di
dalam kita), kita pasti mampu melakukannya. Sesungguhnya, inilah dasar dari pelayanan kita
yaitu: KASIH ALLAH. Kita mengasihi orang lain bukan supaya
kita diselamatkan, juga bukan supaya kita dikasihi Allah, melainkan sebagai
ungkapan rasa syukur kita atas kasih yang Allah sudah nyatakan kepada kita. Oleh
sebab itu, dalam bentuk bagaimana lagi kita dapat mengasihi Allah selain
daripada menyatakan ekspresi kasih kita kepada orang lain? Bukankah pernyataan
ini selaras dengan perkataan Sang Raja, Hakim Agung kita di pengadilan terakhir,
“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
MOTIVASI PELAYANAN
Tuhan, bilamanakah
kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi
Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau
telanjang dan kami memberi Engkau pakaian Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam
penjara dan kami mengunjungi Engkau?
(Mat 25:37-39)
Di
balik setiap bentuk pelayanan yang pernah kita lakukan, tentunya ada berbagai
macam motivasi yang menyertai pelayanan tersebut. Motivasi-motivasi ini adalah
penggerak dari sebuah kegiatan pelayanan. Alkitab berkata bahwa Allah selalu
melihat ke dalam hati (motivasi). Maka, sesuai dengan pernyataan Alkitab
tersebut, tidaklah salah apabila saya berkata bahwa “seberapa besar nilai
pelayanan kita di mata Tuhan, semuanya tergantung kepada motivasi yang terdapat
di dalam hati kita”.
Ada
banyak motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan pelayanan,
namun setidaknya saya melihat ada 5 motivasi yang paling utama:
Pertama,
TERPAKSA. Biasanya motivasi ini disebabkan karena adanya tekanan
dari pihak luar. Misalnya, paksaan dari suami/istri, perintah dari gembala sidang, atau bisa juga karena
takut dinilai buruk oleh sesama anggota gereja. Motivasi seperti ini tidak
mustahil akan menghasilkan suatu kejenuhan yang berakhir pada kekecewaan.
Motivasi yang benar akan menghasilkan kepuasan di dalam pelayanan, bukan
tekanan. Apabila seorang melayani dengan kuk yang tidak seharusnya ia pikul,
maka beban yang ditanggungnya akan terasa berkali-kali lipat beratnya. Itulah
sebabnya diperlukan adanya kesadaran dari pihak gereja bahwa kondisi yang benar
adalah gereja memberdayakan jemaat (sesuai dengan panggilan dan
karunia mereka), bukan memperdayakan mereka untuk kepentingan
gereja.
Kedua,
TANGGUNG JAWAB. Biasanya motivasi ini disebabkan karena tuntutan
jabatan. Sebuah kesalahan dari tradisi Kristen yang diturunkan dari generasi ke
generasi telah menyebabkan motivasi ini menjadi motivasi yang paling umum bagi
sebagian besar pelayan Kristen. Apabila kita membaca Alkitab dengan lebih
seksama, maka kita akan menemukan kebenaran bahwa fungsi senantiasa mendahului
jabatan. Mungkin saja jabatan yang dimaksud sudah dinubuatkan jauh sebelumnya,
namun penetapan akan jabatan yang dimaksud tetap saja dilakukan setelah orang
yang bersangkutan melakukan fungsi dari jabatan itu. Contoh, rasul Paulus
pernah dinubuatkan bahwa ia akan menjadi rasul bagi bangsa-bangsa lain ketika
ia sedang di dalam perjalanan menuju kota Damsyik (Kisah 9:15-16). Akan tetapi,
penetapan jabatan rasul bagi Paulus baru terjadi pada saat sidang jemaat di
Antiokhia (Kisah 13:1-3, Gal 2:7-10). Jauh sebelum peristiwa pengutusan itu, Paulus
bersama-sama dengan Barnabas sudah menjalankan fungsi kerasulannya kepada
bangsa-bangsa lain.
Contoh
Alkitab lainnya adalah penetapan para penatua. Rasul Paulus memberikan tugas
kepada Timotius untuk menetapkan beberapa penatua. Bagaimana caranya Timotius
melakukan tugas tersebut? Saya yakin Timotius menetapkan para penatua dengan
cara memilih beberapa orang dari antara mereka yang secara tidak langsung sudah
“dituakan” oleh jemaat. Artinya, mereka memang sudah berfungsi sebagai penatua
sebelum mereka ditetapkan menjadi penatua.
Pertanyaannya
sekarang, mengapa Paulus dan para penatua dapat melakukan fungsi mereka jauh
sebelum mereka menduduki jabatan rasul dan penatua? Jawabannya karena karunia mendahului jabatan.
Karunia rasul yang ada pada diri Paulus memampukan dia untuk melakukan fungsi
kerasulan, jauh sebelum ia ditetapkan sebagai rasul bagi bangsa-bangsa lain.
Demikian pula dengan para penatua, mereka telah memiliki karunia gembala yang
memampukan mereka melaksanakan tugas kepenatuaan mereka jauh sebelum mereka
ditetapkan menjadi penatua. Bahkan sekiranya Paulus atau para penatua tidak
pernah ditahbiskan menjadi rasul atau penatua, maka hal itu tidak menjadi
masalah sama sekali bagi Kerajaan Allah, sebab di mata Tuhan mereka tetaplah
rasul dan penatua.
Kenyataannya,
konsep seperti ini sudah tidak diberlakukan lagi di dalam gereja. Ibadah yang
semula dilakukan di rumah-rumah (walaupun mereka tetap berkumpul di Bait Allah
untuk mendengar pengajaran), sekarang dilakukan secara terpusat pada ibadah
raya. Pelayanan yang dahulu dilakukan kaum awam, sekarang dilakukan imam-imam
(Pastor, Pendeta, dan golongan imam lainnya yang membutuhkan upacara
pentahbisan). Dan yang terakhir, fungsi pelayanan yang dahulu disesuaikan
dengan karunianya masing-masing, sekarang digantikan oleh jabatan-jabatan
gerejawi, seperti ketua bidang penginjilan, ketua bidang pemuridan, dll.
Kembali
ke masalah motivasi. Ketika jabatan yang diberikan tidak sesuai dengan karunia
yang dimiliki, maka sebagai konsekuensinya, pelayanan bukan lagi menjadi
sesuatu yang menyenangkan, melainkan menjadi tanggung jawab. Bila kondisi
semacam ini sampai terjadi, maka tidaklah mengherankan apabila pelayan-pelayan
Kristen tidak menjadi tajam di dalam pelayanan. Sungguh sebuah kenyataan yang
memprihatinkan!
Ketiga,
KEPENTINGAN DIRI SENDIRI. Sadar atau tidak sadar, motivasi ini
adalah motivasi yang paling populer. Mau bukti? Jawablah pertanyaan berikut ini
dengan jujur: Seberapa banyak dari antara saudara yang mau melakukan pelayanan
yang tidak diketahui orang lain? Masih maukah saudara menjadi singer apabila
para penyanyi ditempatkan di balik panggung yang tidak kelihatan? Bukti lain
bahwa motivasi ini adalah motivasi yang paling populer adalah kenyataan bahwa
kita selalu berdoa kepada Tuhan untuk menjaga hati kita agar kita tidak menjadi
tinggi hati di dalam pelayanan. Bukankah doa seperti ini menunjukkan siapa kita
yang sebenarnya di hadapan Tuhan, yaitu bahwa kita senang dipandang sebagai
orang yang melayani Tuhan. Kita bisa saja menipu orang lain dengan doa-doa yang
berkata “Sembunyikan kami di balik salib-Mu”, atau “Biarlah semua kemuliaan
hanya bagi Tuhan”, bahkan kita berdoa “Jangan biarkan kami mencuri
kemuliaan-Mu.” Tetapi, doa semacam itu hanya berhasil bagi manusia, tidak bagi
Allah.
Salah
satu bentuk yang paling menipu dari motivasi kepentingan diri sendiri adalah
perasaan nyaman bahwa “saya sudah melayani.” Saya pernah mendengar kesaksian
dari seorang pemudi yang mengundurkan diri dari pelayanan membagi-bagikan
makanan kepada kaum pemulung. Adapun alasan mengapa pemudi itu mengundurkan
diri dari pelayanannya adalah karena ia pernah mendengar keluhan dari seorang
pemulung yang berkata, “Kami juga manusia
yang punya hati, kalau kalian merasa jijik kepada kami, lebih baik tidak usah
memberikan makanan.” Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ada banyak
pemudi, yang sebetulnya merasa jijik kepada para pemulung, masih tetap saja
melakukan pelayanan seperti itu? Jawabannya, mereka sudah terinfeksi SINDROM
PELAYANAN, yaitu sindrom “saya sudah melayani lho…!” Sindrom ini khususnya berlaku
untuk pelayanan gerejawi. Contoh, berapa banyak guru sekolah minggu yang
sebetulnya tidak memiliki hati untuk anak-anak? Hanya karena mereka tidak tahu
lagi harus melayani di bidang apa, mereka dengan “terpaksa” melayani anak-anak
sekolah minggu. Motivasi apa yang mendorong mereka untuk tetap melayani di sekolah
minggu? Sederhana, kepentingan diri sendiri, yaitu menentramkan hati mereka
bahwa mereka sudah melayani! Seandainya saja mereka mau “melihat” jauh ke dalam
hati, mereka akan menemukan bahwa sesungguhnya motivasi yang mendorong mereka
untuk tetap bertahan di pelayanan sekolah minggu adalah “saya ingin menentramkan hati saya dengan
kenyataan bahwa saya sudah melayani.” Ini adalah sebuah motivasi
yang keliru, yaitu motivasi untuk memuaskan kepentingan diri sendiri yang
kemudian dibungkus rapi dengan alasan: “kalau bukan kami, siapa lagi yang mau
melayani di sekolah minggu?”
Keempat,
TAAT PADA FIRMAN. Alkitab memberikan perintah agar kita saling
melayani dan tugas kita sebagai umat Tuhan adalah taat kepada perintah. Oleh
sebab itu, melayani dengan motivasi ketaatan pada Firman adalah sebuah motivasi
yang baik. Persoalannya adalah seringkali kita tertipu dengan motivasi yang
tersembunyi di balik keinginan kita untuk taat kepada Firman. Maksudnya, di
balik motivasi ketaatan kita kepada Firman, tersembunyi alasan lain yang mendorong
kita sehingga kita mau taat kepada Firman (motivasi di balik motivasi).
Misalnya, takut usahanya tidak diberkati, atau takut kasih Allah berkurang,
atau bahkan takut pada hukuman Tuhan (apabila tidak taat). Dari sini kita bisa
melihat bahwa tidak semua motivasi taat pada Firman bermula dari motivasi yang
murni di hadapan Tuhan. Di balik ketaatan kita ternyata ada motivasi untuk
kepentingan diri sendiri. Harus diakui ada beberapa orang Kristen yang dengan
tulus ingin menyenangkan hati Tuhan melalui ketaatan mereka, tetapi harus diakui
pula bahwa jumlahnya relatif sedikit.
Kelima,
KASIH KEPADA SESAMA. Kita kembali kepada teks Alkitab, khususnya
ayat ke-37 sampai 39. Dengan sengaja saya mempertebal kata “bilamana” dengan
tujuan untuk memperlihatkan kepada saudara bahwa perumpamaan di atas
menunjukkan bahwa mereka yang memberikan makanan, minuman, pakaian, tumpangan,
dan juga waktu untuk berkunjung, telah melakukan semua kebaikan tersebut dengan
motivasi yang terbaik, yaitu kasih kepada sesama. Mereka tidak sadar bahwa apa
yang mereka lakukan ternyata diperhitungkan sebagai suatu pelayanan bagi Tuhan.
Jelas bahwa mereka tidak bermaksud untuk “membalas jasa” kepada Tuhan. Mereka
melakukannya hanya karena mereka merasa kasihan kepada orang-orang yang
dipandang hina, itu saja. Dan itu adalah motivasi yang terbaik!
Mungkin,
beberapa orang berpikir di dalam hatinya, dengan tidak mengetahui kebenaran ini
– yang menyatakan bahwa apa yang kita lakukan untuk orang lain sama halnya
dengan kita melakukannya untuk Tuhan – dapat menolong kita untuk memiliki
motivasi yang benar di dalam pelayanan. Tetapi, pendapat seperti ini hanyalah
sebuah alasan, sebab apabila kita membaca kitab Injil dan memperhatikan dengan
seksama bagaimana Tuhan Yesus melayani, maka kita akan menemukan perkataan
“tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan.” Apakah Tuhan Yesus tidak memahami
kebenaran ini? Mustahil! Pasti Tuhan Yesus mengetahuinya, bukankah Ia sendiri
yang memberikan perumpamaan yang sedang kita bahas sekarang? Jadi, bilamana
Yesus, yang adalah Guru Agung kita, telah memberikan teladan dan perintah-Nya,
maka satu hal yang dapat kita yakini bahwa teladan dan perintah itu dapat pula
kita lakukan. Artinya, kita bisa memiliki motivasi yang sama dengan Tuhan Yesus
yang selalu “tergerak oleh belas kasihan”, persoalannya tinggal bagaimana
proses kedewasaan kita di dalam memahami dan mengalami kebenaran ini.
TUJUAN PELAYANAN
Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi
Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum;
ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;
ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian;
ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di
dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.
(Mat 25:35-36)
Marilah kita memperhatikan kata-kata yang dipertebal
dan digaris-bawahi (sambil merenungkannya). Yang lapar menerima makanan, yang
haus diberi minum, yang telanjang mendapat pakaian, yang sakit dibesuk, yang
dalam penjara dikunjungi, dst. Dari kenyataan ini kita dapat mengambil sebuah
kesimpulan sederhana tapi sangat penting nilainya yaitu tujuan sebuah pelayanan
adalah orang lain merasakan kasih.
Dengan pengertian seperti ini, maka aplikasi dari
sebuah pelayanan wujudnya bisa bermacam-macam. Marilah kita mulai dengan
pelayanan di gereja. Contoh: seorang pemain musik. Bernyanyi dengan diiringi
musik tentunya lebih merdu dan enak didengar ketimbang tanpa musik. Sadar atau
tidak sadar, sebenarnya kita telah menerima kasih dari para pemain musik.
Berapa banyak waktu yang telah mereka habiskan di dalam latihan dan persiapan?
Contoh lainnya adalah pengkhotbah. Berapa banyak persiapan yang harus mereka
lakukan sebelum akhirnya mereka siap naik ke atas mimbar? Sebut saja mulai dari
persiapan materi, doa, mungkin juga ditambah puasa, sampai kepada persiapan
hati dan pikiran. Kita yang mendengarkan tinggal duduk diam dan menerima firman
siap saji yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh para pengkhotbah. Bukankah
kita telah menerima kasih dari para pengkhotbah?
Sekarang, mari kita melangkah lebih jauh. Dengan
pengertian bahwa tujuan dari sebuah pelayanan adalah agar orang lain dapat
merasakan kasih, maka tidaklah salah untuk menyebutkan bahwa memandikan seorang
anak adalah salah satu wujud dari pelayanan. Selama ini, kita diberitahukan
bahwa yang namanya pelayanan, kalau tidak di gereja, tentunya sesuatu yang
bersifat rohani, seperti: penginjilan, memberikan makanan, membagikan baju
bekas, kunjungan ke panti asuhan/jompo/penjara, dll. Tetapi saya jarang
menemukan pengajaran yang berkata bahwa memandikan seorang anak adalah sebuah
pelayanan. Kenyataannya sebagian besar orang Kristen menganggap hal itu sebagai
suatu kewajiban. Apakah saudara pernah berpikir bahwa di Sorga nanti tidak ada
yang namanya hubungan antara suami, istri dan anak-anak. Alkitab berkata bahwa
pada hari kebangkitan, kita akan hidup seperti malaikat di Sorga (Mat22:30). Selama
kita hidup di dunia, mereka adalah keluarga kita, tetapi di Sorga nanti, mereka
bukan siapa-siapa kita lagi. Mereka adalah orang lain!
Menurut pendapat saya, seorang wanita yang bekerja –
karena sebuah pilihan, bukan karena keadaan – ia telah kehilangan banyak sekali
kesempatan untuk melayani. Ada banyak wanita yang bekerja karena kesulitan
ekonomi. Katakan saja suaminya menderita suatu penyakit yang tidak memungkinkan
lagi bagi dirinya untuk bekerja, maka apa yang dilakukan oleh
istri-istri mereka yang bekerja bisa dikatakan sebagai suatu pelayanan. Tetapi faktanya,
sekarang ini lebih banyak wanita yang bekerja karena mereka ingin mengejar karir, atau
mendapatkan pengakuan dari dunia, atau sekedar mendapatkan penghasilan tambahan,
yang notabene tidak memiliki arti yang bernilai kekal.
Berita yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa
filsafat duniawi seperti ini bahkan sudah masuk sampai ke dalam gereja. Entah
berapa banyak pengkhotbah wanita yang memberitakan bahwa sebagai seorang
wanita, mereka tidak boleh hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi harus berdaya guna bagi sesama. Pertanyaannya, apa sih yang dimaksud dengan “berguna” dan berguna
bagi siapa? Apakah dengan menjadi ibu rumah tangga artinya mereka telah
menyia-nyiakan hidup mereka? Hey… maafkan saya bapak/ibu pengkhotbah, tidak ada
pelayanan yang lebih mulia ketimbang melayani keluarga, bahkan seharusnya
seorang pria yang tidak berhasil di dalam keluarga, ia tidak berhak menjadi
penatua dan diaken (1 Tim 3:1-7). Jadi di sini kita melihat bahwa ukuran yang
utama dalam pelayanan adalah keluarga, bukan kesuksesan di luar. Saudara bisa saja mengatakan
saya ketinggalan jaman, kuno, atau bahasa gaulnya jadul, tetapi saya juga bisa
mengatakan bahwa saudara adalah orang yang tidak bertanggung jawab, bukan saja
di hadapan Allah, tetapi juga kepada generasi yang akan datang.
Saya heran bahkan sangat heran, mengapa kebenaran
yang sangat sederhana seperti ini bisa diputar-balikkan menjadi sebuah
cibiran. Berapa banyak dari ibu rumah tangga yang merasa minder “HANYA” karena
mereka seorang ibu rumah tangga? Lihatlah negara Amerika, betapa hancurnya
moral anak-anak muda di sana, mengapa? Fatherless and Motherless! Yang lebih
celaka lagi, ketidak-hadiran para orang tua jaman sekarang bukan hanya karena mereka sibuk di dalam pekerjaan, tetapi juga sibuk di dalam pelayanan gereja. Ironis
sekali, pelayanan yang paling utama ditinggalkan, sedangkan pelayanan yang
sekunder diutamakan! Mungkin orang-orang Kristen modern harus mendengar apa
yang disampaikan Oprah Winfrey dalam beberapa kesempatan (yang menurut pendapat saya bisa dikatakan
sebagai salah seorang wanita karir paling sukses menurut ukuran dunia): “Pekerjaan
paling berat yang dapat dilakukan seorang wanita adalah menjadi ibu rumah
tangga”. Tentunya yang dimaksud di sini adalah ibu rumah tangga dalam arti yang
sesungguhnya, yaitu mereka yang mengurus rumah tangganya dengan rajin sebagai
suatu pekerjaan (dan pelayanan), bukan hanya ibu rumah tangga sebagai status,
di mana mereka tidak pernah melakukan pekerjaan apapun bagi kebahagiaan
keluarganya.
Jadi, inilah seruan pertobatan bagi kita semua: Hai
pria-pria, jikalau engkau terlalu sibuk dengan pekerjaan, hobi, atau bahkan
pelayanan, lebih daripada memperhatikan istri dan anak-anakmu, bertobatlah,
sadarilah bahwa itu adalah pelayananmu yang sejati. Hai wanita-wanita, bila
suamimu sudah memberikan cukup nafkah bagi seluruh keluargamu, berhentilah
mengejar karir dan harta yang hanya bernilai di dunia ini saja. Belajarlah
untuk melayani suami dan anak-anakmu. Hal itu tidak menjadikanmu sebagai wanita
yang tidak berguna, sebab di mata Tuhan, itu adalah pelayananmu yang paling
mulia.
Dengan berkata seperti ini, saya tidak bermaksud
untuk mengatakan bahwa para pria tidak boleh bekerja keras atau memiliki hobi.
Demikian pula saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa para wanita tidak
boleh bekerja. Tujuan saya adalah membuat saudara memahami apa yang seharusnya
menjadi prioritas. Intinya adalah keseimbangan. Seimbang dalam hal bekerja (yang
sesungguhnya apabila dilakukan dengan motivasi yang benar adalah sebuah
pelayanan). Seimbang dalam hal memberikan waktu untuk keluarga. Juga seimbang
dalam hal pelayanan gerejawi (seandainya saudara memang dipanggil untuk
melayani di gereja).
Sebagai penutup, pada akhirnya yang menentukan apakah
sebuah pelayanan bernilai atau tidak di mata Tuhan adalah motivasi kita di
dalam melakukan pelayanan itu. Memandikan seorang anak bisa menjadi sebuah
pelayanan yang sangat besar nilainya bila dilakukan dengan motivasi yang benar,
yaitu kasih kepada sesama. Namun, pelayanan yang sama, akan menjadi tidak
berarti nilainya apabila dilakukan karena terpaksa atau sebagai kewajiban
belaka.
MAKNA PELAYANAN
Sebab
aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk
Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi
aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku
yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah
yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.
(Galatia 2:19-20)
Sebelum kita
melangkah kepada bagian akhir dari khotbah ini, ijinkan saya mengulang secara
ringkas beberapa point penting mengenai pelayanan.
1.
Dasar pelayanan adalah KASIH ALLAH. Allah
yang sudah terlebih dahulu mengasihi kita melalui pengorbanan Anak-Nya di atas
kayu salib. Dan sebagai ucapan syukur atas kebaikan Allah, marilah kita saling
melayani.
2.
Motivasi pelayanan yang terbaik adalah KASIH
KEPADA SESAMA. Biarlah kebenaran ini menjadi bagian dalam diri kita.
Bagaimana caranya? Hiduplah dekat dengan Sang Kasih supaya Ia dapat
memanifestasikan kasih-Nya melalui kita (buah Roh – Gal 5:22-23).
3. Tujuan
dari pelayanan adalah ORANG LAIN MERASAKAN KASIH. Dalam segala hal yang
berhubungan dengan orang lain merasakan kasih, maka hal itu dapat dikategorikan
sebagai sebuah pelayanan. Jangan lupa, Alkitab berkata bahwa memberikan
secangkir air sejukpun, kita tidak akan kehilangan upahnya.
Sekarang,
sebagai kesimpulan akhir dari ketiga point diatas, kemudian ditambah dengan teks
Galatia 2:19-20, apakah makna dari sebuah pelayanan? Makna dari sebuah
pelayanan adalah MENYATAKAN SANG
KASIH YANG ADA DI DALAM DIRI KITA KEPADA DUNIA MELALUI PERBUATAN-PERBUATAN
KASIH YANG KITA LAKUKAN DENGAN TUJUAN ORANG LAIN MERASAKAN KASIH.
Allah sudah lebih dahulu menyatakan kasih-Nya, dan Sang Kasih itu tinggal di
dalam diri kita, jadi apalagi makna dari sebuah pelayanan selain menyatakan
Sang Kasih yang ada di dalam diri kita kepada orang lain, di mana tujuannya
supaya mereka dapat merasakan sentuhan kasih dari Sang Kasih.
Rasul Paulus
berkata bahwa ia telah mati dan hidup yang dihidupinya sekarang adalah milik
Kristus, yang hidup di dalam dia. Kebenaran ini adalah untuk setiap orang
percaya. Artinya, hidup yang kita jalani sekarang adalah kepunyaan Allah.
Manusia lama kita sudah mati bersama dengan Kristus – yaitu melalui karya-Nya
di atas kayu salib yang dilambangkan dengan baptisan – yang dikerjakan oleh Roh
Kudus. Kristus datang untuk membebaskan kita dari hukum dosa. Maksudnya, kita
bukan lagi hamba-hamba dosa, melainkan hamba kebenaran. Kita sudah dibeli
dengan darah Kristus, sebagaimana seorang budak dibeli dengan sejumlah uang,
dari iblis, yang adalah tuan dari segala dosa, menjadi kepunyaan Allah, yang
adalah Tuan dari segala kebenaran.
Banyak orang
Kristen telah salah mengerti tentang makna kemerdekaan di dalam Kristus.
Kristus sudah membebaskan kita dari hukum dosa, yaitu hukum yang telah membuat
kita menjadi hamba dosa, bukan supaya kita bebas melakukan apa saja yang kita
kehendaki, melainkan supaya kita menjadi hamba kebenaran. Perhatikan baik-baik
bahwa kita tidak pernah menjadi orang yang bebas dalam arti yang
sebenar-benarnya. Semula kita adalah hamba dosa, kemudian kita dibeli dan
menjadi hamba kebenaran. Keduanya adalah hamba, atau dengan bahasa yang lebih
tepat, keduanya adalah budak (doulos = slave). Kondisi ini bukan pilihan,
tetapi sebuah kenyataan yang harus kita terima apa adanya.
Seorang budak
tentunya tidak memiliki hak atas hidupnya. Apa yang diperintahkan oleh tuannya adalah
sesuatu yang sifatnya tidak bisa dibantah. Harus dilakukan, sebab bila tidak,
mereka akan menanggung akibatnya! Demikian pula dengan status kita. Allah
adalah tuan kita dan kita adalah budak-Nya. Perintah-Nya harus dilakukan dan
tidak bisa ditawar-tawar. Untungnya, Tuan kita adalah Tuan yang baik, yang
tidak menghajar budak-budak-Nya dengan hukuman bila mereka berbuat salah atau tidak
taat, melainkan memberikan pengarahan, teguran, didikan dan peringatan, dengan
tujuan supaya mereka dapat melakukannya dengan lebih baik di kemudian hari.
Sebagai
kata-kata penutup dari khotbah tentang makna pelayanan ini, dengarkanlah suara
Tuan kita yang telah memberikan perintah-Nya:
1.
Janganlah
hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan (Roma 12:11).
2. Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi
janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan
dalam dosa, melainkan layanilah seorang
akan yang lain oleh kasih (Galatia 5:13).
3. Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan
karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik
dari kasih karunia Allah (1 Petrus 4:10).
Amin.
0 Response to "MAKNA PELAYANAN"
Post a Comment